BAB V
PENYELESAIAN DELIK AGAMA DI KABUPATEN MOJOKERTO
A. Penyelesaian Oleh Pemuka Agama
1. Penghentian Shalat Secara Paksa di Kecamatan Ngoro
Mula-mula kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan di dalam kantor pabrik gitar. Pertemuan ini dihadiri oleh Kyai Isma’il (dari Desa Ngoro) dan Ustadz Ihsan (dari Desa Sedati) dari pihak pemuka agama setempat, sekaligus mewakili masyarakat Ngoro. Untuk memperkokoh kebijakan pemuka agama, Ustadz Ihsan memerintahkan seorang santrinya untuk menemui dan mengundang KH. Dimyati Rasyid di Mojosari. Menurut penjelasan Kyai Dimyati, kasus penghentian shalat tersebut disebabkan oleh faktor kurang pemahaman dari Mr. Kim mengenai ajaran Islam. Selain itu, penjelasan lanjut Kyai Dimyati, Mr. Kim juga tidak mengetahui jika Sutrisno sedang melaksanakan shalat. Ia menganggap Sutrisno tersebut bersembunyi. Anggapan Mr. Kim juga diperkuat oleh pelaksanaan shalat di saat jam kerja, padahal pihak pabrik telah memberikan waktu shalat saat istirahat. Dengan alasan ini, pertemuan disepakati dengan memutasi Mr. Kim, kasus ini tidak dijadikan sebagai alasan kesalahan untuk Sutrisno, serta pemuka agama wajib meredam situasi yang muncul di masyarakat dengan dibantu oleh pihak kepolisian.
Setelah pertemuan di atas, Kyai Isma’il melakukan sosialisasi di hadapan para pekerja dengan didampingi oleh Mr. Kim. Menurut kyai yang pernah belajar di Pesantren Sidogiri Pasuruan ini, para pekerja dapat menerima permintaan maaf dari Mr. Kim, bahkan mereka tidak memperpanjang kasus ini serta siap mendialogkan setiap permasalahan di pabrik dengan pihak manajer. Selain itu, Kyai Isma’il memuji sikap para pekerja dan pihak manajer yang mengutamakan kekeluargaan. “Di hadapan mereka Mr. Kim kembali menjabat tangannya Sutrisno. Pokoknya, suasananya terharu”, jelas Kyai Isma’il.
Penyelesaian kasus penghentian shalat di atas melibatkan pemuka agama lokal serta pemuka lembaga keagamaan. Peranan pemuka agama lokal lebih dominan, sedangkan pemuka lembaga keagamaan menjadi penguat. Gejolak kasus ini tidak besar, karena pola penyelesaiannya cukup dengan mediasi pemuka agama lokal. Dalam hal ini, tingkat kepercayaan subyek hukum terhadap otoritas keagamaan lokal masih besar. Apabila pihak yang bersengketa tidak puas dengan keputusan pemuka agama lokal, maka ia dapat pula mencari mediator yang lebih otoritatif. Di samping itu, terdapat kesadaran antara dua pihak yang terlibat sengketa. Pihak Mr. Kim menyadari bahwa ia telah memasuki area pribadi seseorang dengan mengorbankan kekuasaannya sebagai manajer perusahaan. Begitu pula, Sutrisno tidak menuntut terlalu jauh, meskipun ia mendapatkan dukungan eksternal yang kuat. Dengan kesadaran ini, kepentingan masing-masing dapat diminimalisir. Roscou Pound (1870-1964), pembentuk ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence), menjadikan kepentingan sebagai inti ilmu hukum sosiologis. Menurutnya, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, kepentingan merupakan suatu keinginan atau permintaan yang ingin dipenuhi manusia, baik secara pribadi, melalui hubungan antar pribadi, atau melalui kelompok. Ia membedakan antara kepentingan pribadi, kepentingan umum, maupun kepentingan sosial. Dalam golongan kepentingan sosial tercakup antara lain: kepentingan akan keamanan umum, kehidupan pribadi, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber-sumber daya sosial dan alam, serta kepentingan dalam perkembangan ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Dalam pemikiran P. Panggabean, penyelesaian kasus di atas juga dominan perselisihan kepentingan, yakni pada aspek penerapan peraturan perusahaan. Dalam peraturan perusahaan, terdapat hak dan kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban pekerja, syarat kerja, dan tata tertib perusahaan. Perselisihan kepentingan perusahaan dapat saja diselesaikan dengan kebijakan perusahaan. Akan tetapi, tatkala persoalan perusahaan menyangkut kepentingan sosial, maka perselisihan juga melibatkan masyarakat secara luas. Masyarakat yang dimaksud adalah pemeluk agama dengan pemuka agama lokal sebagai mediatornya.
Pemuka agama tidak menggunakan pendekatan kepatuhan dengan melaporkan kepada kepolisian, melainkan dengan pendekatan hukum. Hukum itu tidak hanya merupakan alat dari ketertiban (order), melainkan ia lebih sering bertentangan dengan ketertiban itu sendiri. Ada masyarakat yang tampak tidak tertib, tetapi mereka ini sesungguhnya mampu melaksanakan tertib hukum sampai pada tingkat tertentu. Sebaliknya, keadaan tertib dapat dijumpai tanpa terlihat praktek yang dijalankan oleh hukum. Karena itu, semua pihak dalam kasus ini lebih mengedepankan aspek ketertiban, meski dengan hukum acara di luar pengadilan, bahkan di luar kebijakan perusahaan.
2. Ritual Keagamaan Mengganggu Ketenanagan Orang Lain di Kecamatan Bangsal
Menurut Ustadz Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Bisri, pemuka agama Desa Gayam, penduduk sekitar pernah memprotes keberadaan pengajian Shalawat Wahidiyah kepada Kepala Desa. Agar tidak menimbulkan konflik, Kepala Desa Gayam, Moh. Syaikhu (40 tahun), mendatangi Kyai Cholil untuk melirihkan suara saat menjalankan ritualnya. Namun, permintaan Kepala Desa ini tidak dipatuhi oleh Kyai Cholil, mengingat kerasnya suara merupakan bentuk tata cara ritual Shalawat Wahidiyah. Setelah itu, Kepala Desa menyarankan pemuka agama yang lain untuk melakukan dialog dengan Kyai Cholil. Pada sekitar Bulan Agustus 2007, terjadi perdebatan sengit dengan di antara para pemuka agama di kediaman Kyai Cholil. Dalam perdebatan tersebut, ada pemuka NU yang menganggap ritual yang dijalankan oleh Kyai Cholil belum pernah diakui oleh tradisi NU. Pernyataan ini yang membuat Kyai Cholil marah, sehingga semakin terjadi ketegangan di kalangan pemuka agama. Ketegangan ini akhirnya dicairkan oleh Kepala Desa dengan memberikan izin dalam melaksanakan ritual Shalawat Wahidiyah, selama tidak menggunakan pengeras suara. Agar suasana tidak semakin panas, Gus Bisri menengahi pendapat para pemuka agama dengan mengembalikan kepada ajaran pokok agama, bukan memperbesar masalah cabang agama. “Memang ada pemuka agama memiliki masalah dengan Pak Cholil. Tapi, saya tidak suka dengan melampiaskan masalahnya dalam kasus seperti ini”, tegas Gus Bisri. Ketika ditanyakan permasalahan pemuka agama tersebut dengan Kyai Cholil, Gus Bisri enggan menerangkannya, bahkan nama pemuka agama tersebut juga tidak disebutkan. “Maaf, kalau saya ngomong, berarti membuka aib orang lain”, tegas Gus Bisri yang dikenal sebagai tokoh agama di Desa Gayam dan putra Kyai Bisri Mustofa.
Permasalahan internal diselesaikan secara internal. Demikian ini merupakan istilah yang tepat untuk kasus di atas. Dalam hal upaya penegakan hukum, tidak cukup dilihat dari aspek hukumnya saja, tetapi aspek yang lain juga harus diperhatikan, seperti aparat dan kultur masyarakatnya. Penegakan hukum menjadi efektif bila terdapat kepercayaan dari masyarakat kepada sistem hukum dan aparat. Ketidakpercayaan ini membentuk kultur tersendiri bagi masyarakat, yakni kultus yang apatis hukum. Kasus di atas dapat juga dilimpahkan kepada pihak kepolisian, namun hal itu akan membentuk aparat yang belum sepenuhnya bia dipercaya. Ada faktor-faktor sosial yang menyebabkan warga masyarakat menyimpang dan menyeleweng. Ada kemungkinan bahwa penyimpangan terjadi, karena nilai-nilai dan kaedah yang berlaku sudah dianggap tidak dapat menampung kepentingan-kepentingan warga masyarakat.
Di samping minimnya pengetahuan dan kepercayaan masyarakat kepada hukum, kasus hukum juga memberikan pengaruh dalam menentukan penyelesaian. Kasus Kyai Cholil masih berskala kecil, namun ia bisa menjadi besar akibat dari status sosial kyai Cholil sendiri dalam pandangan masyarakat. Untuk itu, penyelesaian secara damai merupakan solusi untuk menyelamatkan reputasi subyek hukum. Karena persengketaan melibatkan pemuka agama dengan pemuka agama, maka model penyelesaian disgunakan adalah perundingan.
Perundingan (negotiation) adalah dua pihak –Kyai Cholil dan para pemuka agama desa gayam- yang saling berhadapan merupakan pengambilan keputusan. Pemecahan dari masalah yang mereka hadapi dilakukan oleh kedua belah pihak Keduanya sepakat tanpa adanya pihak ketiga yang mencampurinya. Kedua puhak berupaya untuk saling meyakinkan. Jadi, mereka membuat aturan tersendiri yang ditaati bersama.
3. Tuduhan Sesat di Kecamatan Bangsal
Tuduhan sesat hanya bagian dari materi penghinaan atas Kyai Mukhlashon Rosyid oleh Kyai Abdul Wahid dan Kyai Mahfud Zaini. Namun, Kyai Mukhlashon dan Kyai Mahfud sering saling menghujat di hadapan publik. Masyarakat pun resah dengan sikap kedua pemuka agama tersebut. Untuk menyelesaikannya, masyarakat meminta beberapa pemuka agama lokal yang tidak memiliki keberpihakan di antara kedua pemuka agama tersebut. Karena kedudukan Kyai Mahfud yang lebih terpandang dan dijadikan sesepuh oleh masyarakat, maka tidak satu pun pemuka agama Desa Sumbertebu yang berani menghadapinya. Hanya saja, para pemuka agama ini memberikan himbauan kepada masyarakat untuk menahan diri dari saling menyalahkan dan saling mengecam. Mereka pun memberikan solusi untuk tidak menyatukan kedua pemuka agama tersebut dalam satu forum, hingga keduanya dapat berdamai.
Strategi kultural di atas cukup efektif. Kyai Mukhlashon dan Kyai Mahfud juga merasa diperlakukan masyarakat secara bijak. Keduanya pun telah menyadarinya, meski letupan permusuhan dapat terjadi sewaktu-waktu. Letupan ini sering dipicu oleh pernyataan kontroversial dari Kyai Mukhlashon yang mengunggulkan amalan Tasawwuf. Tentu saja, Kyai Mahfud tidak menerimanya. Namun, karena masyarakat tidak terpancing dan tidak menghiraukan pernyataan dan tingkah laku Kyai Mukhlashon, maka Kyai Mahfud juga ikut menahan diri untuk mengecamnya. Hingga saat ini, apa yang dilakukan oleh Kyai Mukhlashon dianggap sebagai “di luar kenormalan”. Masyarakat pun enggan memintanya memberikan ceramah, kecuali orang-orang yang mengaguminya, meskipun mereka memiliki pengetahuan agama yang minim. Meskipun Kyai Mukhlashon diundang sebagai penceramah, Kyai Mahfud beserta masyarakat juga berkenan hadir. Sebagai penghormatan kepada Kyai Mahfud, ia diberi peluang untuk memimpin doa saja.
Penyelesaian delik agama di atas tidak saja dilakukan oleh para pemuka agama, tetapi juga melibatkan peranan masyarakat secara keseluruhan. Peranan semacam ini dapat diharapkan dari masyarakat yang partisipatif. Masyarakat yang partisipan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
1. Konsensus yang bisa diandalkan.
2. Nilai-nilai koopeatif.
3. Tidak ada lembaga-lembaga khusus.
4. Dominasi dari seluruh kehidupan sosial atas para anggotanya.
5. Kehadiran sanksi-sanksi adalah minimal.
6. Hanya ada satu kekuasaan utama dan yang mencakup semuanya.
7. Dominasi tujuan atas sarana.
8. Masyarakat keseluruhan merupakan “in group” (berarti tidak ada in-group lain dalam masyarakat; dengan perkataan lain, yang ada hanya masyarakat itu sendiri dengan dunia di luarnya).
9. Tidak ada pelapisan sosial atau hanya kecil saja.
Dengan karakter masyarakat partisipatif di atas, maka secara mikrososiologi hukum, ia dapat membentuk hukum yang partisipatif pula. Artinya, masyarakat memiliki kesadaran membangun norma hukum yang kemudian disepakati dan dilaksanakan bersama. Demikian pula, sanksi sosial pun juga diterapkan dengan penuh kesadaran. Tentu saja, demikian ini memerlukan proses secara terus-menerus. Dengan meminjam konsep konstruksi sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, kelestarian partisipasi masyarakat terhadap penegakan hukum dapat melalui dialektika eksternalisasi, obyektifikasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Obyektifikasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses internalisasi. Internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. Dialektika tiga hal ini berjalan secara simultan. Artinya, ada proses menarik keluar (eksternalisasi), sehingga hal itu seakan-akan berada di luar (obyektif). Kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi), sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan juga merupakan sesuatu yang berada di dalam diri.
Dalam konteks masyarakat Sumbertebu, permasalahan hukum yang berkembang dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar. Meski demikian, masyarakat merespon persoalan tersebut secara positif dan diselesaikan dengan mengikuti budaya lokal. Dengan warna kultural ini, masyarakat mampu memiliki jatidiri tersendiri. Karenanya, mereka tidak serta-merta menolak dan mengusir Kyai Mukhlashon, melainkan memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikannya.
B. Penyelesaian Oleh Lembaga Keagamaan
1. Pemanfaatan Pondok Pesantren Oleh Orang Non-Muslim di Kecamatan Gondang
Begitu isu mengenai pondok pesantren dikelola oleh orang non-muslim menyeruak, para pemuka agama d sekitar Desa Ketegan menanyakan langsung kepada KH. Saifuddin Maksum, Rais Syuriah MWC NU Kecamatan Gondang. Untuk mencari jawabannya, Kyai Saifuddin langsung melakukan investigasi ke Desa Ketegan. Dari hasil investigasinya, ia mendapatkan hasil bahwa berita yang telah beredar tidak sepenuhnya tepat di lapangan. Saat diwawancarai, kyai yang memiliki pesantren hafal al-Qur’an ini menjelaskan bahwa ia berupaya menyampaikan hasil investigasinya kepada para pengurus MWC NU saat rapat koordinasi agar tidak terjadi salah paham. “Alhamdulillah, semuanya mengerti”, kata pemuka agama dari Desa Pohjejer ini. Ia menambahkan, pembicaraan tidak pada masalah orang Kristen, tetapi lebih memperhatikan nasib pondok pesantren yang telah ditinggal santrinya.
Nur Rahmat yang mengikuti pertemuan tersebut mengakui tidak ada masalah bagi pengurus NU. Ia datang dalam pertemuan itu sebagai wakil dari PCNU Mojokerto. Nur Rahmat bahkan mengemukakan bahwa beberapa orang pernah menanyakan hukum dari penyerahan perawatan aset umat Islam oleh orang non-muslim. Mereka menunjukkan dalil al-Qur’an yang tidak memperkenankan orang non-muslim sebagai pengurus ta’mir masjid. Karena membutuhkan kajian yang mendalam, persoalan orang non-muslim merawat pondok pesantren dibahas dalam Bahtsul Masail PCNU Mojokerto, sebuah lembaga kajian keagamaan di bawah koordinasi NU. Ketika hasilnya ditanyakan, Nur Rahmat menjawab, bahwa yang diperdebatkan adalah batasan perawatan dan status pondok pesantren, apakah pondok pesantren dapat disamakan dengan masjid yang benar-benar sebagai tempat ibadah. “Akhirnya”, Nur Rahmat menjelaskan, “Bahtsul Masail membolehkan dengan persyaratan”. Persyaratan ini tidak dinyatakan kepada Nur Rahmat lebih jauh.
Penyelesaian persoalan di atas tidak hanya dengan kebijakan, sekaligus juga dengan dasar keilmuan. Pengetahuan seperti hasil kajian Bahtsul Masail dinilai oleh Georges Gurvitch sebagai faktor perubahan dalam kenyataan sosial melalui dua segi. Pertama, pengutaraan secara intelektual sebagai suatu unsur dari semua hukum perubahannya memaksakan perubahan pada kepercayaan hukum dan kelakuan. Kedua, pengetahuan bertindak sebagai suatu faktor dari perubahan hukum dengan cara yang lebih terpusat dan lebih terbatas. Pengetahuan itu campur tangan dalam cara-cara mengenal atau mengakui hukum, mempengaruhi sumber-sumber formal dari hukum.
Penyelesaian dengan dasar keilmuan memberikan pengaruh preventif, agar masalah serupa diatasi secara waspada. Dalam bahasa hukum, terdapat “kekuatan hukum tetap” yang dihasilkan dari kajian mendalam para hakim dengan melihat bukti-bukti di lapangan serta menerapkan asas keadilan sebagai aspek idealitas hukum. Paduan antara idealitas dan realitas yang dikaji secara ilmiah dapat memberikan dasar yang meyakinkan, terutama bagi para pemeluk agama. “Kajian mengenai hukum dalam masyarakat sederhana, seperti juga common law, harus menarik generalisasinya dari kekhususan-kekhususan, yaitu kasus-kasus, kasus-kasus, dan kasus-kasus lagi”, tulis J.F. Holleman. Hal yang sama terjadi dalam Bahtsul Masail NU yang tidak hanya mencari dalil dari kitab suci, tetapi juga menarik kebaikan dari peristiwa yang khusus. Demikian ini dimaksudkan agar pemeluk agama dapat mengamalkan ajaran agama dengan mudah serta masih dalam koridor petunjuk agama.
Penting dicatat pula bahwa rumusan diktum keagamaan oleh lembaga keagamaan memiliki nuansa moral. Pelembagaan agama pada dasarnya berlangsung pada tiga tingkat yang saling mempengaruhi, yaitu ibadah, doktrin, dan organisasi. Kebutuhan mengenai stabilitas, kesinambungan, dan pelestarian mendorong upaya peningkatan kharisma kolektif. Karenanya, pemecahan masalah agama secara kolektif melalui lembaga keagamaan menjadi efektif dan mengurangi distorsi subyektifitas. Dalam kaitan ini, umat beragama akan selalu melaporkan delik agama tidak kepada penegak hukum, tetapi terlebih dahulu kepada lembaga keagamaan. Respons cepat dari lembaga keagamaan menjadi titik kepercayaan umat beragama.
2. Penghinaan Terhadap Kyai di Kecamatan Bangsal
Untuk meredam konflik internal umat beragama, kasus penghinaan kepada Kyai Masrihan diajukan oleh Ketua PCNU Kyai Irfan Arif kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI, KH. Dimyati Rosyid mengundang para pemuka agama Islam se-Kabupaten Mojokerto untuk membahas persoalan Gold Quest secara tertutup. Dalam penjelasan Kyai Dimyati, semua pemuka agama, termasuk Kyai Masrihan, menyetujui larangan Gold Quest dan menjauhkan umat dari upaya perekrutan bisnis yang tidak jelas. Selain itu, para pemuka agama diminta untuk menumbuhkan kembali keparcayaan umat kepada pemeluk agama. “Kalau bukan kepada kita-kita ini, kepada siapa lagi umat Islam mendapatkan petunjuk agama, “jelas Kyai Dimyati saat diwawancarai di rumahnya.
Kasus yang melibatkan banyak pemuka agama di atas dapat diselesaikan dengan lembaga keagamaan yang menjadi mitra pemerintah. Pengakuan pemerintah ini memiliki kekuatan struktural, karena pengurusnya mengakomodasi perwakilan dari semua lembaga keagamaan. Dalam hal ini, MUI adalah keterwakilan dari semua lembaga keagamaan umat Islam, seperti Muhammadiyah dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Perbedaan fungsi MUI dan FKUB terletak wilayah pelayanannya. MUI hanya melayani umat Islam, sedangkan FKUB melayani semua umat beragama. Baik MUI maupun FKUB keduanya dapat berfungsi sebagai mediator. Penunjukkan pihak ketiga sebagai mediator dapat terjadi karena kehendak sendiri, ditunjuk oleh penguasa, atau diminta oleh kedua belah pihak. Sebagai mediator, tugas utamanya adalah bertindak sebagai fasilitator, sehingga pertukaran informasi dapat dilaksanakan. Selain itu, ia juga diharapkan untuk mencai atau merumuskan titik-titik temu dari argumentasi para pihak dan berupaya mengurangi perbedaan pendapat yang timbul, sehingga mengarah pada satu keputusan bersama. MUI dapat berperan sebagai mediator untuk menyelesaikan delik agama antar umat Islam antar organisasi kemasyarakatan Islam. Sementara FKUB menjadi mediator untuk semua pemeluk agama.
C. Penyelesaian Oleh Lembaga Keagamaan Bersama Pemerintah
1. Pendirian Pabrik Bir di Kecamatan Ngoro dan Kutorejo
Kasus pabrik bir telah menjadi perhatian publik secara regional. Saat itu, pendiriannya membuat ketegangan antara ulama bersama masyarakat dengan aparat pemerintah. Karena masa Orde Baru dikenal dengan kekuatan hegemoni pemerintah, maka ulama dan masyarakat sering mendapatkan tekanan. Di Kecamatan Ngoro, tekanan pemerintah ini dihadapi dengan kebersamaan dan persatuan ulama dan masyarakat. “Sampai ada orang yang rela menyerahkan kendaraan Kijangnya dengan uang bensin dan sopirnya kepada saya untuk digunakan kemanapun asal pabrik bir tidak jadi di Ngoro”, kata Gus Wahid. Dengan dukungan masyarakat, Gus Wahid semakin bersemangat memperjuangkan penolakan pabrik bir. Selain meminta tanda tangan dari semua pemuka agama di Kecamatan Ngoro, Gus Wahid juga meminta tanda tangan para pemuka agama se-Kabupaten Mojokerto. Tidak hanya itu, Gus Wahid juga mengajukan persoalan ini ke tingkat Muktamar NU di Cipasung Jawa Barat. Rekomendasi muktamar ini semakin memperkuat perjuangan Gus Wahid, sehingga ia memberanikan diri menghadap Gubernur Jawa Timur yang saat itu dijabat Basofi Sudirman. Akhirnya, rekomendasi Gubernur menjadi ‘surat sakti’ untuk meyakinkan aparat pemerintah Kabupaten Mojokerto dari tingkat Bupati hingga Kepala Desa Mendhuro.
Penyelesaian secara struktural di atas mencairkan hubungan antara pemuka agama dengan aparat pemerintah. Penyelesaian struktural ini dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur birokrasi pemerintahan yang menganut sistem dari atas ke bawah (top-down) dan jalur organisasi kemasyarakatan yang menganut sistem dari bawah ke atas (bottom-up). Model semacam ini telah diakomodasi oleh UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Penodaan dan Penyalahgunaan Ajaran Agama. Otoritas dan tata cara pelaksanaan undang-undang tersebut juga telah dijabarkan melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Dalam peraturan tersebut, kewenangan telah didistribusikan antara aparatur pemerintah dengan pemuka agama yang berada dalam kepengurusan FKUB. Meskipun demikian, lembaga keagamaan yang lain juga memiliki andil dalam mencapai kerukunan hidup beragama. Menurut Gus Wahid, justru dalam masalah agama, pemerintah seakan-akan lepas tangan dan diserahkan sepenuhnya kepada lembaga keagamaan. Dengan demikian, Peraturan Bersama tersebut merupakan legalitas lembaga keagamaan dalam memutuskan perkara delik agama, sebagaimana dalam penjelasan UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 di atas.
2. Penempatan Kuburan Non-Muslim di Wilayah Muslim Kecamatan Pacet
Penyelesaian kasus ini juga sangat pelik, sebagai sebagaimana kasus pabrik bir. Kasus Trawas Memorial Park (TMP) dengan investor PT Multi Jasindo Cemerlang Jakarta melibatkan komponen pemuka agama, masyarakat, dan pemerintah. Pemuka agama terlibat karena pendirian makam dan tempat ibadah yang tidak sesuai dengan agama masyarakat lokal. Keterlibatan pemerintah didorong oleh faktor ekonomi, tidak saja memberikan pajak ke pemerintah daerah, tetapi juga memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Sementara itu, masyarakat lokal dan masyarakat sekitarnya menjadi sasaran ketegangan antara pemuka agama dengan aparat pemerintah. Oleh karena itu, pandangan masyarakat juga terbelah antara pihak yang mendukung dengan pihak yang menolak. Antara pertimbangan agama dan ekonomi juga membuat pemuka agama berselisih pendapat, namun pandangan yang menolak TMP karena faktor agama masih dominan.
Dalam menyelesaikan kasus ini, para pemuka agama NU yang kharismatis menggalang konsolidasi dengan membentuk Forum Komunikasi Kyai NU Mojokerto (FKNU). FKNU juga menggalang kerja sama dengan lembaga keagamaan yang bersikap menolak dengan pendirian TMP, semacam MUI, Muhammadiyah, dan Walhi. Kebersamaan lembaga keagamaan ini juga mendapatkan dukungan dari Kantor Departemen Agama Mojokerto serta Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Dengan kekuatan semua elemen keagamaan ini, pendirian TMP menjadi gagal. Meski demikian, pihak yang menyetujui pendirian TMP masih menghembuskan isu negatif kepada para pemuka agama di Mojokerto. Demikian secara panjang lebar dijelaskan oleh Nur Rahmat: pegawai Depag Mojokerto, sekretaris FKUB, sekaligus pengurus PCNU Mojokerto.
Kebersamaan para pemuka agama –lintas aliran dan lintas agama- berperan penting dalam menggagalkan kasus TMP. Pemuka agama masih mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Mojokerto dibanding aparatur pemerintah, meskipun kesejahteraan ekonomi dikampanyekan oleh pemerintah. Hubungan lembaga keagamaan dengan lembaga pemerintahan berarti keterkaiatan antara agama dan negara. Ada batas-batas yang jelas antara agama dan negara. Namun demikian, tidak sedikit persoalan yang menjadi klaim agama maupun negara. Termasuk dalam hal ini adalah pelebaran makna delik agama, terutama konsep delik yang berhubungan dengan agama. Lembaga keagamaan selalu lebih berpegang pada hukum yang hidup di masyarakat (law in society), sedangkan lembaga pemerintah mendasarkan pada hukum normatif yang tertulis (law in book). Kedua bentuk hukum tidak perlu dipertentangkan jika dalam jurisprudensi hakim tetap memperhatikan konsteks sosial masyarakat. Holleman kembali berpesan, “Banyak kasus sengketa yang diselesaikan oleh pengadilan negeri akan menyajikan suatu gambaran hukum yang terpisah dari konsteks sosialnya. Karena itu, suatu penelitian yang cermat terhadap dampak dari badan peradilan tersebut, erlu dilakukan supaya orang memperoleh gambaran mengenai perbedaannya dari kenyataan sosial”.
D. Temuan dan Analisis
Penyelesaian delik agama dalam beberapa kasus si atas hubungan antara hukum agama dan kearifan lokal. Bahkan, dapat dikatakan bahwa hukum yang berkembang di masyarakat adalah hukum agama itu sendiri setelah mendapatkan konstruksi dari pemuka agama. Dalam konstruksi itu, pemuka agama mengajukan tiga alternatif pola hubungan agama dan budaya, yaitu pola sinkretik, pola purifikatif, dan pola akulturatif. Ketiga pola ini digunakan dalam penyelesaian kasus-kasus delik agama di atas.
Pola sinkretik adalah membuat keputusan penyelesaian dengan mengutamakan kearifan lokal yang dilegitimasi oleh agama. dalam hal ini, pemuka agama menggunakan budaya lokal, tetapi, karena pemuka memiliki otoritas keagamaan, maka masyarakat pun memandangnya sebagai legitimasi agama. pola demikian ini menonjol dalam kasus Kyai Cholil di Desa Gayam Kecamatan Bangsal. Mediator dalam kasus ini adalah Kepala Desa, sedangkan pemuka agama mengikuti langkah-langkah yang diajukan oleh Kepala Desa. Padahal, pemuka agama sebagai pihak penerima pengaduan, bukan korban delik agama. Penting dikemukakan bahwa Kepala Desa tidak menggunakan pendekatan agama sama sekali, sehingga ia tidak mempersoalkan kesesatan agama, melainkan mempermasalahkan ketertiban masyarakat. Tempat penyelesaiannya pun tidak di masjid atau balai desa, melainkan di rumah dan pesantren milik Kyai Cholil. Kearifan lokal seperti ini telah mengakar di masyarakat Kecamatan Bangsal.
Pola purifikatif terjadi dalam penyelesaian kasus penodaan shalat dan penolakan pendirian pabrik bir di Kecamatan Ngoro, tuduhan aliran sesat di Kecamatan Bangsal, serta pemanfaatan pondok pesantren oleh orang non-muslim di Kecamatan Gondang. Pola ini memisahkan budaya lokal dan hukum agama, serta memilih hukum agama sebagai penyelesaiannya. Langkah awal dari pola ini adalah mengkaji hukum agama lebih dalam. Hasil kajian ini dijadikan dasar dalam penyelesaian delik agama. umumnya, delik agama yang relevan dengan penyelesaian purifikasi adalah terkait dengan penyalahgunaan dan penodaan ajaran agama, seperti tuduhan aliran sesat dan penyalahgunaan penafsiran ajaran agama. Salah satu upaya dari penerapan purifikatif adalah penyelenggaraan Bahtsul Masail (pembahasan masalah-masalah aktual) oleh organisasi NU atau Majelis Tarjih (forum memecahkan masalah dengan hukum yang lebih kuat) oleh organisasi Muhammadiyah. Kajian ini dilaksanakan jika kasus delik agama belum pernah dibahas sebelumnya, sebagaimana kasus pemanfaatan pondok pesantren oleh orang non-muslim di Kecamatan Gondang yang dibahas bersama oleh para kyai di MWC NU Gondang dalam forum Bahtsul Masail. Jika kasus delik agama telah ditelaah dan dipublikasikan secara tertulis, maka pemuka agama mengambilnya sebagai referensi. Cara semacam ini dilakukan oleh Nur Rahmat dalam menolak pendirian Trawas Memorial Park.
Pola akulturatif sering digunakan oleh pemuka agama dalam menyelesaikan delik yang terkairt dengan penghinaan terhadap pemuka agama. pola ini memadukan unsur budaya lokal dengan hukum agama. Ia memiliki asumsi bahwa ajaran agama yang ‘melangit’ perlu dikonstruksi terlebih dahulu agar bisa ‘membumi’. Ungkapan ‘melangit’ menunjuk pada sisi idealitas dan sakralitas ajaran agama. Sementara istilah ‘membumi’ dimaksudkan sebagai realitas pemeluk agama. terkadang ajaran agama sulit dipraktekkan oleh pemeluk agama hanya disebabkan oleh faktor budaya. Untuk memudahkannya, pemuka agama menafsirkan ajaran agama yang sesuai dengan kondisi masyarakat. Ketika Kyai Masrikhan mendapat penghinaan dari pemuka agama yang berbeda aliran, Kyai Mahfud sebagai pihak penerima pengaduan tidak mengatasinya sendiri, tetapi mengadukannya kepada lembaga keagamaan yang sealiran dengannya dan Kyai Masrikhan, yaitu PCNU Kabupaten Mojokerto.
PENYELESAIAN DELIK AGAMA DI KABUPATEN MOJOKERTO
A. Penyelesaian Oleh Pemuka Agama
1. Penghentian Shalat Secara Paksa di Kecamatan Ngoro
Mula-mula kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan di dalam kantor pabrik gitar. Pertemuan ini dihadiri oleh Kyai Isma’il (dari Desa Ngoro) dan Ustadz Ihsan (dari Desa Sedati) dari pihak pemuka agama setempat, sekaligus mewakili masyarakat Ngoro. Untuk memperkokoh kebijakan pemuka agama, Ustadz Ihsan memerintahkan seorang santrinya untuk menemui dan mengundang KH. Dimyati Rasyid di Mojosari. Menurut penjelasan Kyai Dimyati, kasus penghentian shalat tersebut disebabkan oleh faktor kurang pemahaman dari Mr. Kim mengenai ajaran Islam. Selain itu, penjelasan lanjut Kyai Dimyati, Mr. Kim juga tidak mengetahui jika Sutrisno sedang melaksanakan shalat. Ia menganggap Sutrisno tersebut bersembunyi. Anggapan Mr. Kim juga diperkuat oleh pelaksanaan shalat di saat jam kerja, padahal pihak pabrik telah memberikan waktu shalat saat istirahat. Dengan alasan ini, pertemuan disepakati dengan memutasi Mr. Kim, kasus ini tidak dijadikan sebagai alasan kesalahan untuk Sutrisno, serta pemuka agama wajib meredam situasi yang muncul di masyarakat dengan dibantu oleh pihak kepolisian.
Setelah pertemuan di atas, Kyai Isma’il melakukan sosialisasi di hadapan para pekerja dengan didampingi oleh Mr. Kim. Menurut kyai yang pernah belajar di Pesantren Sidogiri Pasuruan ini, para pekerja dapat menerima permintaan maaf dari Mr. Kim, bahkan mereka tidak memperpanjang kasus ini serta siap mendialogkan setiap permasalahan di pabrik dengan pihak manajer. Selain itu, Kyai Isma’il memuji sikap para pekerja dan pihak manajer yang mengutamakan kekeluargaan. “Di hadapan mereka Mr. Kim kembali menjabat tangannya Sutrisno. Pokoknya, suasananya terharu”, jelas Kyai Isma’il.
Penyelesaian kasus penghentian shalat di atas melibatkan pemuka agama lokal serta pemuka lembaga keagamaan. Peranan pemuka agama lokal lebih dominan, sedangkan pemuka lembaga keagamaan menjadi penguat. Gejolak kasus ini tidak besar, karena pola penyelesaiannya cukup dengan mediasi pemuka agama lokal. Dalam hal ini, tingkat kepercayaan subyek hukum terhadap otoritas keagamaan lokal masih besar. Apabila pihak yang bersengketa tidak puas dengan keputusan pemuka agama lokal, maka ia dapat pula mencari mediator yang lebih otoritatif. Di samping itu, terdapat kesadaran antara dua pihak yang terlibat sengketa. Pihak Mr. Kim menyadari bahwa ia telah memasuki area pribadi seseorang dengan mengorbankan kekuasaannya sebagai manajer perusahaan. Begitu pula, Sutrisno tidak menuntut terlalu jauh, meskipun ia mendapatkan dukungan eksternal yang kuat. Dengan kesadaran ini, kepentingan masing-masing dapat diminimalisir. Roscou Pound (1870-1964), pembentuk ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence), menjadikan kepentingan sebagai inti ilmu hukum sosiologis. Menurutnya, sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, kepentingan merupakan suatu keinginan atau permintaan yang ingin dipenuhi manusia, baik secara pribadi, melalui hubungan antar pribadi, atau melalui kelompok. Ia membedakan antara kepentingan pribadi, kepentingan umum, maupun kepentingan sosial. Dalam golongan kepentingan sosial tercakup antara lain: kepentingan akan keamanan umum, kehidupan pribadi, perlindungan terhadap moral, konservasi sumber-sumber daya sosial dan alam, serta kepentingan dalam perkembangan ekonomi, politik, dan kebudayaan.
Dalam pemikiran P. Panggabean, penyelesaian kasus di atas juga dominan perselisihan kepentingan, yakni pada aspek penerapan peraturan perusahaan. Dalam peraturan perusahaan, terdapat hak dan kewajiban pengusaha, hak dan kewajiban pekerja, syarat kerja, dan tata tertib perusahaan. Perselisihan kepentingan perusahaan dapat saja diselesaikan dengan kebijakan perusahaan. Akan tetapi, tatkala persoalan perusahaan menyangkut kepentingan sosial, maka perselisihan juga melibatkan masyarakat secara luas. Masyarakat yang dimaksud adalah pemeluk agama dengan pemuka agama lokal sebagai mediatornya.
Pemuka agama tidak menggunakan pendekatan kepatuhan dengan melaporkan kepada kepolisian, melainkan dengan pendekatan hukum. Hukum itu tidak hanya merupakan alat dari ketertiban (order), melainkan ia lebih sering bertentangan dengan ketertiban itu sendiri. Ada masyarakat yang tampak tidak tertib, tetapi mereka ini sesungguhnya mampu melaksanakan tertib hukum sampai pada tingkat tertentu. Sebaliknya, keadaan tertib dapat dijumpai tanpa terlihat praktek yang dijalankan oleh hukum. Karena itu, semua pihak dalam kasus ini lebih mengedepankan aspek ketertiban, meski dengan hukum acara di luar pengadilan, bahkan di luar kebijakan perusahaan.
2. Ritual Keagamaan Mengganggu Ketenanagan Orang Lain di Kecamatan Bangsal
Menurut Ustadz Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Bisri, pemuka agama Desa Gayam, penduduk sekitar pernah memprotes keberadaan pengajian Shalawat Wahidiyah kepada Kepala Desa. Agar tidak menimbulkan konflik, Kepala Desa Gayam, Moh. Syaikhu (40 tahun), mendatangi Kyai Cholil untuk melirihkan suara saat menjalankan ritualnya. Namun, permintaan Kepala Desa ini tidak dipatuhi oleh Kyai Cholil, mengingat kerasnya suara merupakan bentuk tata cara ritual Shalawat Wahidiyah. Setelah itu, Kepala Desa menyarankan pemuka agama yang lain untuk melakukan dialog dengan Kyai Cholil. Pada sekitar Bulan Agustus 2007, terjadi perdebatan sengit dengan di antara para pemuka agama di kediaman Kyai Cholil. Dalam perdebatan tersebut, ada pemuka NU yang menganggap ritual yang dijalankan oleh Kyai Cholil belum pernah diakui oleh tradisi NU. Pernyataan ini yang membuat Kyai Cholil marah, sehingga semakin terjadi ketegangan di kalangan pemuka agama. Ketegangan ini akhirnya dicairkan oleh Kepala Desa dengan memberikan izin dalam melaksanakan ritual Shalawat Wahidiyah, selama tidak menggunakan pengeras suara. Agar suasana tidak semakin panas, Gus Bisri menengahi pendapat para pemuka agama dengan mengembalikan kepada ajaran pokok agama, bukan memperbesar masalah cabang agama. “Memang ada pemuka agama memiliki masalah dengan Pak Cholil. Tapi, saya tidak suka dengan melampiaskan masalahnya dalam kasus seperti ini”, tegas Gus Bisri. Ketika ditanyakan permasalahan pemuka agama tersebut dengan Kyai Cholil, Gus Bisri enggan menerangkannya, bahkan nama pemuka agama tersebut juga tidak disebutkan. “Maaf, kalau saya ngomong, berarti membuka aib orang lain”, tegas Gus Bisri yang dikenal sebagai tokoh agama di Desa Gayam dan putra Kyai Bisri Mustofa.
Permasalahan internal diselesaikan secara internal. Demikian ini merupakan istilah yang tepat untuk kasus di atas. Dalam hal upaya penegakan hukum, tidak cukup dilihat dari aspek hukumnya saja, tetapi aspek yang lain juga harus diperhatikan, seperti aparat dan kultur masyarakatnya. Penegakan hukum menjadi efektif bila terdapat kepercayaan dari masyarakat kepada sistem hukum dan aparat. Ketidakpercayaan ini membentuk kultur tersendiri bagi masyarakat, yakni kultus yang apatis hukum. Kasus di atas dapat juga dilimpahkan kepada pihak kepolisian, namun hal itu akan membentuk aparat yang belum sepenuhnya bia dipercaya. Ada faktor-faktor sosial yang menyebabkan warga masyarakat menyimpang dan menyeleweng. Ada kemungkinan bahwa penyimpangan terjadi, karena nilai-nilai dan kaedah yang berlaku sudah dianggap tidak dapat menampung kepentingan-kepentingan warga masyarakat.
Di samping minimnya pengetahuan dan kepercayaan masyarakat kepada hukum, kasus hukum juga memberikan pengaruh dalam menentukan penyelesaian. Kasus Kyai Cholil masih berskala kecil, namun ia bisa menjadi besar akibat dari status sosial kyai Cholil sendiri dalam pandangan masyarakat. Untuk itu, penyelesaian secara damai merupakan solusi untuk menyelamatkan reputasi subyek hukum. Karena persengketaan melibatkan pemuka agama dengan pemuka agama, maka model penyelesaian disgunakan adalah perundingan.
Perundingan (negotiation) adalah dua pihak –Kyai Cholil dan para pemuka agama desa gayam- yang saling berhadapan merupakan pengambilan keputusan. Pemecahan dari masalah yang mereka hadapi dilakukan oleh kedua belah pihak Keduanya sepakat tanpa adanya pihak ketiga yang mencampurinya. Kedua puhak berupaya untuk saling meyakinkan. Jadi, mereka membuat aturan tersendiri yang ditaati bersama.
3. Tuduhan Sesat di Kecamatan Bangsal
Tuduhan sesat hanya bagian dari materi penghinaan atas Kyai Mukhlashon Rosyid oleh Kyai Abdul Wahid dan Kyai Mahfud Zaini. Namun, Kyai Mukhlashon dan Kyai Mahfud sering saling menghujat di hadapan publik. Masyarakat pun resah dengan sikap kedua pemuka agama tersebut. Untuk menyelesaikannya, masyarakat meminta beberapa pemuka agama lokal yang tidak memiliki keberpihakan di antara kedua pemuka agama tersebut. Karena kedudukan Kyai Mahfud yang lebih terpandang dan dijadikan sesepuh oleh masyarakat, maka tidak satu pun pemuka agama Desa Sumbertebu yang berani menghadapinya. Hanya saja, para pemuka agama ini memberikan himbauan kepada masyarakat untuk menahan diri dari saling menyalahkan dan saling mengecam. Mereka pun memberikan solusi untuk tidak menyatukan kedua pemuka agama tersebut dalam satu forum, hingga keduanya dapat berdamai.
Strategi kultural di atas cukup efektif. Kyai Mukhlashon dan Kyai Mahfud juga merasa diperlakukan masyarakat secara bijak. Keduanya pun telah menyadarinya, meski letupan permusuhan dapat terjadi sewaktu-waktu. Letupan ini sering dipicu oleh pernyataan kontroversial dari Kyai Mukhlashon yang mengunggulkan amalan Tasawwuf. Tentu saja, Kyai Mahfud tidak menerimanya. Namun, karena masyarakat tidak terpancing dan tidak menghiraukan pernyataan dan tingkah laku Kyai Mukhlashon, maka Kyai Mahfud juga ikut menahan diri untuk mengecamnya. Hingga saat ini, apa yang dilakukan oleh Kyai Mukhlashon dianggap sebagai “di luar kenormalan”. Masyarakat pun enggan memintanya memberikan ceramah, kecuali orang-orang yang mengaguminya, meskipun mereka memiliki pengetahuan agama yang minim. Meskipun Kyai Mukhlashon diundang sebagai penceramah, Kyai Mahfud beserta masyarakat juga berkenan hadir. Sebagai penghormatan kepada Kyai Mahfud, ia diberi peluang untuk memimpin doa saja.
Penyelesaian delik agama di atas tidak saja dilakukan oleh para pemuka agama, tetapi juga melibatkan peranan masyarakat secara keseluruhan. Peranan semacam ini dapat diharapkan dari masyarakat yang partisipatif. Masyarakat yang partisipan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
1. Konsensus yang bisa diandalkan.
2. Nilai-nilai koopeatif.
3. Tidak ada lembaga-lembaga khusus.
4. Dominasi dari seluruh kehidupan sosial atas para anggotanya.
5. Kehadiran sanksi-sanksi adalah minimal.
6. Hanya ada satu kekuasaan utama dan yang mencakup semuanya.
7. Dominasi tujuan atas sarana.
8. Masyarakat keseluruhan merupakan “in group” (berarti tidak ada in-group lain dalam masyarakat; dengan perkataan lain, yang ada hanya masyarakat itu sendiri dengan dunia di luarnya).
9. Tidak ada pelapisan sosial atau hanya kecil saja.
Dengan karakter masyarakat partisipatif di atas, maka secara mikrososiologi hukum, ia dapat membentuk hukum yang partisipatif pula. Artinya, masyarakat memiliki kesadaran membangun norma hukum yang kemudian disepakati dan dilaksanakan bersama. Demikian pula, sanksi sosial pun juga diterapkan dengan penuh kesadaran. Tentu saja, demikian ini memerlukan proses secara terus-menerus. Dengan meminjam konsep konstruksi sosial dari Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, kelestarian partisipasi masyarakat terhadap penegakan hukum dapat melalui dialektika eksternalisasi, obyektifikasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah penyesuaian diri dengan dunia sosio-kultural sebagai produk manusia. Obyektifikasi ialah interaksi sosial dalam dunia intersubyektif yang dilembagakan atau mengalami proses internalisasi. Internalisasi ialah individu mengidentifikasi diri di tengah lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial di mana individu tersebut menjadi anggotanya. Dialektika tiga hal ini berjalan secara simultan. Artinya, ada proses menarik keluar (eksternalisasi), sehingga hal itu seakan-akan berada di luar (obyektif). Kemudian ada proses penarikan kembali ke dalam (internalisasi), sehingga sesuatu yang berada di luar tersebut seakan-akan juga merupakan sesuatu yang berada di dalam diri.
Dalam konteks masyarakat Sumbertebu, permasalahan hukum yang berkembang dilihat sebagai sesuatu yang berada di luar. Meski demikian, masyarakat merespon persoalan tersebut secara positif dan diselesaikan dengan mengikuti budaya lokal. Dengan warna kultural ini, masyarakat mampu memiliki jatidiri tersendiri. Karenanya, mereka tidak serta-merta menolak dan mengusir Kyai Mukhlashon, melainkan memiliki cara tersendiri dalam menyelesaikannya.
B. Penyelesaian Oleh Lembaga Keagamaan
1. Pemanfaatan Pondok Pesantren Oleh Orang Non-Muslim di Kecamatan Gondang
Begitu isu mengenai pondok pesantren dikelola oleh orang non-muslim menyeruak, para pemuka agama d sekitar Desa Ketegan menanyakan langsung kepada KH. Saifuddin Maksum, Rais Syuriah MWC NU Kecamatan Gondang. Untuk mencari jawabannya, Kyai Saifuddin langsung melakukan investigasi ke Desa Ketegan. Dari hasil investigasinya, ia mendapatkan hasil bahwa berita yang telah beredar tidak sepenuhnya tepat di lapangan. Saat diwawancarai, kyai yang memiliki pesantren hafal al-Qur’an ini menjelaskan bahwa ia berupaya menyampaikan hasil investigasinya kepada para pengurus MWC NU saat rapat koordinasi agar tidak terjadi salah paham. “Alhamdulillah, semuanya mengerti”, kata pemuka agama dari Desa Pohjejer ini. Ia menambahkan, pembicaraan tidak pada masalah orang Kristen, tetapi lebih memperhatikan nasib pondok pesantren yang telah ditinggal santrinya.
Nur Rahmat yang mengikuti pertemuan tersebut mengakui tidak ada masalah bagi pengurus NU. Ia datang dalam pertemuan itu sebagai wakil dari PCNU Mojokerto. Nur Rahmat bahkan mengemukakan bahwa beberapa orang pernah menanyakan hukum dari penyerahan perawatan aset umat Islam oleh orang non-muslim. Mereka menunjukkan dalil al-Qur’an yang tidak memperkenankan orang non-muslim sebagai pengurus ta’mir masjid. Karena membutuhkan kajian yang mendalam, persoalan orang non-muslim merawat pondok pesantren dibahas dalam Bahtsul Masail PCNU Mojokerto, sebuah lembaga kajian keagamaan di bawah koordinasi NU. Ketika hasilnya ditanyakan, Nur Rahmat menjawab, bahwa yang diperdebatkan adalah batasan perawatan dan status pondok pesantren, apakah pondok pesantren dapat disamakan dengan masjid yang benar-benar sebagai tempat ibadah. “Akhirnya”, Nur Rahmat menjelaskan, “Bahtsul Masail membolehkan dengan persyaratan”. Persyaratan ini tidak dinyatakan kepada Nur Rahmat lebih jauh.
Penyelesaian persoalan di atas tidak hanya dengan kebijakan, sekaligus juga dengan dasar keilmuan. Pengetahuan seperti hasil kajian Bahtsul Masail dinilai oleh Georges Gurvitch sebagai faktor perubahan dalam kenyataan sosial melalui dua segi. Pertama, pengutaraan secara intelektual sebagai suatu unsur dari semua hukum perubahannya memaksakan perubahan pada kepercayaan hukum dan kelakuan. Kedua, pengetahuan bertindak sebagai suatu faktor dari perubahan hukum dengan cara yang lebih terpusat dan lebih terbatas. Pengetahuan itu campur tangan dalam cara-cara mengenal atau mengakui hukum, mempengaruhi sumber-sumber formal dari hukum.
Penyelesaian dengan dasar keilmuan memberikan pengaruh preventif, agar masalah serupa diatasi secara waspada. Dalam bahasa hukum, terdapat “kekuatan hukum tetap” yang dihasilkan dari kajian mendalam para hakim dengan melihat bukti-bukti di lapangan serta menerapkan asas keadilan sebagai aspek idealitas hukum. Paduan antara idealitas dan realitas yang dikaji secara ilmiah dapat memberikan dasar yang meyakinkan, terutama bagi para pemeluk agama. “Kajian mengenai hukum dalam masyarakat sederhana, seperti juga common law, harus menarik generalisasinya dari kekhususan-kekhususan, yaitu kasus-kasus, kasus-kasus, dan kasus-kasus lagi”, tulis J.F. Holleman. Hal yang sama terjadi dalam Bahtsul Masail NU yang tidak hanya mencari dalil dari kitab suci, tetapi juga menarik kebaikan dari peristiwa yang khusus. Demikian ini dimaksudkan agar pemeluk agama dapat mengamalkan ajaran agama dengan mudah serta masih dalam koridor petunjuk agama.
Penting dicatat pula bahwa rumusan diktum keagamaan oleh lembaga keagamaan memiliki nuansa moral. Pelembagaan agama pada dasarnya berlangsung pada tiga tingkat yang saling mempengaruhi, yaitu ibadah, doktrin, dan organisasi. Kebutuhan mengenai stabilitas, kesinambungan, dan pelestarian mendorong upaya peningkatan kharisma kolektif. Karenanya, pemecahan masalah agama secara kolektif melalui lembaga keagamaan menjadi efektif dan mengurangi distorsi subyektifitas. Dalam kaitan ini, umat beragama akan selalu melaporkan delik agama tidak kepada penegak hukum, tetapi terlebih dahulu kepada lembaga keagamaan. Respons cepat dari lembaga keagamaan menjadi titik kepercayaan umat beragama.
2. Penghinaan Terhadap Kyai di Kecamatan Bangsal
Untuk meredam konflik internal umat beragama, kasus penghinaan kepada Kyai Masrihan diajukan oleh Ketua PCNU Kyai Irfan Arif kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI, KH. Dimyati Rosyid mengundang para pemuka agama Islam se-Kabupaten Mojokerto untuk membahas persoalan Gold Quest secara tertutup. Dalam penjelasan Kyai Dimyati, semua pemuka agama, termasuk Kyai Masrihan, menyetujui larangan Gold Quest dan menjauhkan umat dari upaya perekrutan bisnis yang tidak jelas. Selain itu, para pemuka agama diminta untuk menumbuhkan kembali keparcayaan umat kepada pemeluk agama. “Kalau bukan kepada kita-kita ini, kepada siapa lagi umat Islam mendapatkan petunjuk agama, “jelas Kyai Dimyati saat diwawancarai di rumahnya.
Kasus yang melibatkan banyak pemuka agama di atas dapat diselesaikan dengan lembaga keagamaan yang menjadi mitra pemerintah. Pengakuan pemerintah ini memiliki kekuatan struktural, karena pengurusnya mengakomodasi perwakilan dari semua lembaga keagamaan. Dalam hal ini, MUI adalah keterwakilan dari semua lembaga keagamaan umat Islam, seperti Muhammadiyah dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Perbedaan fungsi MUI dan FKUB terletak wilayah pelayanannya. MUI hanya melayani umat Islam, sedangkan FKUB melayani semua umat beragama. Baik MUI maupun FKUB keduanya dapat berfungsi sebagai mediator. Penunjukkan pihak ketiga sebagai mediator dapat terjadi karena kehendak sendiri, ditunjuk oleh penguasa, atau diminta oleh kedua belah pihak. Sebagai mediator, tugas utamanya adalah bertindak sebagai fasilitator, sehingga pertukaran informasi dapat dilaksanakan. Selain itu, ia juga diharapkan untuk mencai atau merumuskan titik-titik temu dari argumentasi para pihak dan berupaya mengurangi perbedaan pendapat yang timbul, sehingga mengarah pada satu keputusan bersama. MUI dapat berperan sebagai mediator untuk menyelesaikan delik agama antar umat Islam antar organisasi kemasyarakatan Islam. Sementara FKUB menjadi mediator untuk semua pemeluk agama.
C. Penyelesaian Oleh Lembaga Keagamaan Bersama Pemerintah
1. Pendirian Pabrik Bir di Kecamatan Ngoro dan Kutorejo
Kasus pabrik bir telah menjadi perhatian publik secara regional. Saat itu, pendiriannya membuat ketegangan antara ulama bersama masyarakat dengan aparat pemerintah. Karena masa Orde Baru dikenal dengan kekuatan hegemoni pemerintah, maka ulama dan masyarakat sering mendapatkan tekanan. Di Kecamatan Ngoro, tekanan pemerintah ini dihadapi dengan kebersamaan dan persatuan ulama dan masyarakat. “Sampai ada orang yang rela menyerahkan kendaraan Kijangnya dengan uang bensin dan sopirnya kepada saya untuk digunakan kemanapun asal pabrik bir tidak jadi di Ngoro”, kata Gus Wahid. Dengan dukungan masyarakat, Gus Wahid semakin bersemangat memperjuangkan penolakan pabrik bir. Selain meminta tanda tangan dari semua pemuka agama di Kecamatan Ngoro, Gus Wahid juga meminta tanda tangan para pemuka agama se-Kabupaten Mojokerto. Tidak hanya itu, Gus Wahid juga mengajukan persoalan ini ke tingkat Muktamar NU di Cipasung Jawa Barat. Rekomendasi muktamar ini semakin memperkuat perjuangan Gus Wahid, sehingga ia memberanikan diri menghadap Gubernur Jawa Timur yang saat itu dijabat Basofi Sudirman. Akhirnya, rekomendasi Gubernur menjadi ‘surat sakti’ untuk meyakinkan aparat pemerintah Kabupaten Mojokerto dari tingkat Bupati hingga Kepala Desa Mendhuro.
Penyelesaian secara struktural di atas mencairkan hubungan antara pemuka agama dengan aparat pemerintah. Penyelesaian struktural ini dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur birokrasi pemerintahan yang menganut sistem dari atas ke bawah (top-down) dan jalur organisasi kemasyarakatan yang menganut sistem dari bawah ke atas (bottom-up). Model semacam ini telah diakomodasi oleh UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Penodaan dan Penyalahgunaan Ajaran Agama. Otoritas dan tata cara pelaksanaan undang-undang tersebut juga telah dijabarkan melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Dalam peraturan tersebut, kewenangan telah didistribusikan antara aparatur pemerintah dengan pemuka agama yang berada dalam kepengurusan FKUB. Meskipun demikian, lembaga keagamaan yang lain juga memiliki andil dalam mencapai kerukunan hidup beragama. Menurut Gus Wahid, justru dalam masalah agama, pemerintah seakan-akan lepas tangan dan diserahkan sepenuhnya kepada lembaga keagamaan. Dengan demikian, Peraturan Bersama tersebut merupakan legalitas lembaga keagamaan dalam memutuskan perkara delik agama, sebagaimana dalam penjelasan UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 di atas.
2. Penempatan Kuburan Non-Muslim di Wilayah Muslim Kecamatan Pacet
Penyelesaian kasus ini juga sangat pelik, sebagai sebagaimana kasus pabrik bir. Kasus Trawas Memorial Park (TMP) dengan investor PT Multi Jasindo Cemerlang Jakarta melibatkan komponen pemuka agama, masyarakat, dan pemerintah. Pemuka agama terlibat karena pendirian makam dan tempat ibadah yang tidak sesuai dengan agama masyarakat lokal. Keterlibatan pemerintah didorong oleh faktor ekonomi, tidak saja memberikan pajak ke pemerintah daerah, tetapi juga memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Sementara itu, masyarakat lokal dan masyarakat sekitarnya menjadi sasaran ketegangan antara pemuka agama dengan aparat pemerintah. Oleh karena itu, pandangan masyarakat juga terbelah antara pihak yang mendukung dengan pihak yang menolak. Antara pertimbangan agama dan ekonomi juga membuat pemuka agama berselisih pendapat, namun pandangan yang menolak TMP karena faktor agama masih dominan.
Dalam menyelesaikan kasus ini, para pemuka agama NU yang kharismatis menggalang konsolidasi dengan membentuk Forum Komunikasi Kyai NU Mojokerto (FKNU). FKNU juga menggalang kerja sama dengan lembaga keagamaan yang bersikap menolak dengan pendirian TMP, semacam MUI, Muhammadiyah, dan Walhi. Kebersamaan lembaga keagamaan ini juga mendapatkan dukungan dari Kantor Departemen Agama Mojokerto serta Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB). Dengan kekuatan semua elemen keagamaan ini, pendirian TMP menjadi gagal. Meski demikian, pihak yang menyetujui pendirian TMP masih menghembuskan isu negatif kepada para pemuka agama di Mojokerto. Demikian secara panjang lebar dijelaskan oleh Nur Rahmat: pegawai Depag Mojokerto, sekretaris FKUB, sekaligus pengurus PCNU Mojokerto.
Kebersamaan para pemuka agama –lintas aliran dan lintas agama- berperan penting dalam menggagalkan kasus TMP. Pemuka agama masih mendapatkan kepercayaan dari masyarakat Mojokerto dibanding aparatur pemerintah, meskipun kesejahteraan ekonomi dikampanyekan oleh pemerintah. Hubungan lembaga keagamaan dengan lembaga pemerintahan berarti keterkaiatan antara agama dan negara. Ada batas-batas yang jelas antara agama dan negara. Namun demikian, tidak sedikit persoalan yang menjadi klaim agama maupun negara. Termasuk dalam hal ini adalah pelebaran makna delik agama, terutama konsep delik yang berhubungan dengan agama. Lembaga keagamaan selalu lebih berpegang pada hukum yang hidup di masyarakat (law in society), sedangkan lembaga pemerintah mendasarkan pada hukum normatif yang tertulis (law in book). Kedua bentuk hukum tidak perlu dipertentangkan jika dalam jurisprudensi hakim tetap memperhatikan konsteks sosial masyarakat. Holleman kembali berpesan, “Banyak kasus sengketa yang diselesaikan oleh pengadilan negeri akan menyajikan suatu gambaran hukum yang terpisah dari konsteks sosialnya. Karena itu, suatu penelitian yang cermat terhadap dampak dari badan peradilan tersebut, erlu dilakukan supaya orang memperoleh gambaran mengenai perbedaannya dari kenyataan sosial”.
D. Temuan dan Analisis
Penyelesaian delik agama dalam beberapa kasus si atas hubungan antara hukum agama dan kearifan lokal. Bahkan, dapat dikatakan bahwa hukum yang berkembang di masyarakat adalah hukum agama itu sendiri setelah mendapatkan konstruksi dari pemuka agama. Dalam konstruksi itu, pemuka agama mengajukan tiga alternatif pola hubungan agama dan budaya, yaitu pola sinkretik, pola purifikatif, dan pola akulturatif. Ketiga pola ini digunakan dalam penyelesaian kasus-kasus delik agama di atas.
Pola sinkretik adalah membuat keputusan penyelesaian dengan mengutamakan kearifan lokal yang dilegitimasi oleh agama. dalam hal ini, pemuka agama menggunakan budaya lokal, tetapi, karena pemuka memiliki otoritas keagamaan, maka masyarakat pun memandangnya sebagai legitimasi agama. pola demikian ini menonjol dalam kasus Kyai Cholil di Desa Gayam Kecamatan Bangsal. Mediator dalam kasus ini adalah Kepala Desa, sedangkan pemuka agama mengikuti langkah-langkah yang diajukan oleh Kepala Desa. Padahal, pemuka agama sebagai pihak penerima pengaduan, bukan korban delik agama. Penting dikemukakan bahwa Kepala Desa tidak menggunakan pendekatan agama sama sekali, sehingga ia tidak mempersoalkan kesesatan agama, melainkan mempermasalahkan ketertiban masyarakat. Tempat penyelesaiannya pun tidak di masjid atau balai desa, melainkan di rumah dan pesantren milik Kyai Cholil. Kearifan lokal seperti ini telah mengakar di masyarakat Kecamatan Bangsal.
Pola purifikatif terjadi dalam penyelesaian kasus penodaan shalat dan penolakan pendirian pabrik bir di Kecamatan Ngoro, tuduhan aliran sesat di Kecamatan Bangsal, serta pemanfaatan pondok pesantren oleh orang non-muslim di Kecamatan Gondang. Pola ini memisahkan budaya lokal dan hukum agama, serta memilih hukum agama sebagai penyelesaiannya. Langkah awal dari pola ini adalah mengkaji hukum agama lebih dalam. Hasil kajian ini dijadikan dasar dalam penyelesaian delik agama. umumnya, delik agama yang relevan dengan penyelesaian purifikasi adalah terkait dengan penyalahgunaan dan penodaan ajaran agama, seperti tuduhan aliran sesat dan penyalahgunaan penafsiran ajaran agama. Salah satu upaya dari penerapan purifikatif adalah penyelenggaraan Bahtsul Masail (pembahasan masalah-masalah aktual) oleh organisasi NU atau Majelis Tarjih (forum memecahkan masalah dengan hukum yang lebih kuat) oleh organisasi Muhammadiyah. Kajian ini dilaksanakan jika kasus delik agama belum pernah dibahas sebelumnya, sebagaimana kasus pemanfaatan pondok pesantren oleh orang non-muslim di Kecamatan Gondang yang dibahas bersama oleh para kyai di MWC NU Gondang dalam forum Bahtsul Masail. Jika kasus delik agama telah ditelaah dan dipublikasikan secara tertulis, maka pemuka agama mengambilnya sebagai referensi. Cara semacam ini dilakukan oleh Nur Rahmat dalam menolak pendirian Trawas Memorial Park.
Pola akulturatif sering digunakan oleh pemuka agama dalam menyelesaikan delik yang terkairt dengan penghinaan terhadap pemuka agama. pola ini memadukan unsur budaya lokal dengan hukum agama. Ia memiliki asumsi bahwa ajaran agama yang ‘melangit’ perlu dikonstruksi terlebih dahulu agar bisa ‘membumi’. Ungkapan ‘melangit’ menunjuk pada sisi idealitas dan sakralitas ajaran agama. Sementara istilah ‘membumi’ dimaksudkan sebagai realitas pemeluk agama. terkadang ajaran agama sulit dipraktekkan oleh pemeluk agama hanya disebabkan oleh faktor budaya. Untuk memudahkannya, pemuka agama menafsirkan ajaran agama yang sesuai dengan kondisi masyarakat. Ketika Kyai Masrikhan mendapat penghinaan dari pemuka agama yang berbeda aliran, Kyai Mahfud sebagai pihak penerima pengaduan tidak mengatasinya sendiri, tetapi mengadukannya kepada lembaga keagamaan yang sealiran dengannya dan Kyai Masrikhan, yaitu PCNU Kabupaten Mojokerto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar