Rabu, 26 Agustus 2009

BAB IV
BENTUK DELIK AGAMA DI KABUPATEN MOJOKERTO

A. Delik Terhadap Agama
1. Penghentian Shalat Secara Paksa di Kecamatan Ngoro
Shalat merupakan salah satu ibadah ritual agama Islam yang harus dijalankan oleh pemeluknya. Dalam keadaan apapun, ibadah ini tidak boleh ditinggalkan, sekalipun pada saat melaksanakan pekerjaan berat, sebagaimana yang dialami oleh Sutrisno. Sutrisno adalah mantan pekerja bagian pemotongan kayu di P.T. Guitar Cort, Ngoro Industri Persada (NIP). Pabrik milik investor dari Korea Selatan ini memberlakukan kedisiplinan yang tinggi. Tidak sedikit pekerja di pabrik ini yang kontraknya tidak diperpanjang. Bagi Sutrisno yang telah bekerja selama kurang lebih dua tahun, peraturan ini dinilai sebagai beban. Karenanya, kontrak pekerjaaannya tidak diperpanjang pada tahun 2007 yang lalu. Selama bekerja di pabrik yang memproduksi gitar ini, Sutrisno memiliki pengalaman yang sulit dilupakannya. Menurutnya, ia tidak mengira jika masalah yang dialaminya telah berkembang lebih luas, hingga melibatkan banyak tokoh agama.
Awalnya, Sutrisno ingin melaksanakan Sholat Dhuhur sekitar pukul 14.00 WIB. Waktu istirahat yang biasanya digunakan untuk Sholat Dhuhur dan makan siang dimanfaatkan olehnya untuk makan dan bercengkerama sesama temannya. Tanpa terasa olehnya, waktu istirahat pun telah habis. Ia pun kembali lagi bekerja dengan belum sempat melaksanakan ibadah shalat Dhuhur. Ia pun merencanakan untuk melaksanakan shalat di tempat ia bekerja. “Saya kalau belum shalat, nggak tenang, Pak”, akunya. Ketika ia telah melewati pukul 14.00 WIB, Sutrisno mengutarakan keinginannya kepada teman sebelahnya, Agus Susanto, untuk shalat di sebelah tumpukan kayu. Agus pun menyetujui keinginannya, bahkan ia menjamin untuk menjaganya bila ada pemeriksaan yang mendadak. Seketika itu, Sutrisno segera mengambil air wudlu di kamar mandi yang berada di sebelah gedung produksi. Setelah itu, Sutrisno melaksanakan shalat dengan tikar kertas kardus. “Teman-teman sering melakukan shalat di situ. Semua mandor juga tidak mempermasalahkan. Tapi, kenapa justru saya yang ditangkap ‘Bos Besar’. Lagi apes, ya?”, katanya.
Tanpa sepengetahuan Sutrisno dan Agus, Manajer Bagian Produksi melakukan pemeriksaan ke gedung produksi. Mr. Kim, demikian Manajer tersebut dipanggil, melihat pekerjaan pemotongan kayu terabaikan. Ia menanyakan hal ini kepada Agus yang juga bekerja sebagai pemotong kayu. Karena dianggapnya seperti mandor yang lain, Agus menunjuk Sutrisno yang sedang shalat di balik tumpukan kayu. Saat itu, Mr. Kim sedang marah. Ia segera mendekat kepada Sutrisno yang sedang shalat, lalu menarik tangan Sutrisno menuju tempat ia bekerja. Sutrisno sangat kaget dengan kejadian ini. Ia mengatakan bahwa waktu itu ia baru melaksanakan dua rakaat shalat. Apa yang terjadi dengan Sutrisno dilihat oleh pekerja lainnya. Bahkan, Agus pun mengingatkan Mr. Kim bahwa temannya itu sedang melakukan shalat. Namun, Mr. Kim tidak menghiraukannya. Mr. Kim juga sempat mengancam untuk mengeluarkan Sutrisno bila hal itu dilakukan lagi. Waktu itu Sutrisno tidak bisa melaksanakan Shalat Dhuhur.
Apa yang dialami oleh Sutrisno menjadi pembicaraan para pekerja yang lain. Tanpa sepengetahuan Sutrisno, ada beberapa pekerja yang menggalang solidaritas untuk menuntut kebijakan Mr. Kim. Tidak hanya itu, berita ini juga terhembus di luar pabrik, hingga terdengar oleh beberapa tokoh agama di Desa Ngoro. Beberapa tokoh agama di Ngoro dengan dipimpin oleh KH. Ismail, Ketua MUI Ngoro, serta para pekerja yang simpati dengan kasus Sutrisno mempertanyakan kejadian tersebut. Khawatir oleh anarkhisme massal, beberapa petugas polisi Polsek Ngoro juga telah disiagakan. Dalam dialog di kantor pabrik, menurut Sutrisno, terjadi ketegangan antara pihak manajemen dengan masyarakat. Sutrisno yang dipanggil saat itu menceritakan bahwa pertemuan itu belum menemukan titik temu, meskipun Mr. Kim telah meminta maaf. “Saya tidak tahu kalau yang dilakukannya itu ritual agama” jawab Mr. Kim yang ditirukan Sutrisno saat diwawancarai di rumahnya, Desa Jatisari Kecamatan Pungging Mojokerto.
Untuk menentukan unsur pidana dari perbuatan Mr. Kim, perlu menelaah asas legalitas dan asas kesalahan. Asas legalitas menunjukkan bahwa perbuatan Mr. Kim dapat dijerat oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, pasal 156 KUHP dapat diajukan untuk menjerat perbuatan Mr. Kim: “Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-” (pasal 156 KUHP). Perbuatan Mr. Kim di depan para pekerja pabrik gitar serta dilihat oleh hampir semua pekerja dapat dikategorikan sebagai “di muka umum”. Meski pasal tersebut hanya mengemukakan pernyataan perasaan, namun apa yang dilakukan oleh Mr. Kim termasuk kategori perbuatan. Perbuatan merupakan implementasi dari perasaan. Namun, untuk menentukan unsur permusuhan, kebencian, atau penghinaan harus meneliti aspek kesengajaan. Moeljatno lebih memilih teori pengetahuan daripada teori kehendak dalam menentukan kesengajaan, karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Dengan demikian, Mr. Kim yang tidak memahami bahwa hal itu termasuk bagian dari ibadah umat Islam dapat dinyatakan sebagai adanya unsur ketidaksengajaan. Selain itu, Mr. Kim juga tidak mengira jika apa yang dilakukannya memberikan implikasi penghinaan terhadap golongan umat beragama.
Bagi penganut dualistis yang memisahkan unsur perbuatan dan pertanggung-jawaban dari suatu delik, Mr. Kim tetap dijerat pidana delik agama, mengingat apa yang dilakukan dengan memberhentikan secara paksa atas ibadah seseorang merupakan perbuatan penghinaan terhadap pemeluk agama (pasal 156 KUHP) atau penodaan atas ritual keagamaan (pasal 156a KUHP). Hanya saja, untuk membuktikan bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu kesalahan, perlu diteliti unsur melawan hukum obyektif maupun subyektif. Menurut Moeljatno, jika unsur melawan hukum obyektif tidak ditemukan, maka dapat dicari unsur melawan hukum subyektif. Kedua unsur melawan hukum ini tidak terjadi pada Mr. Kim, karena motifnya hanya memberikan disiplin kerja. Meski demikian, apa yang dinyatakan oleh Mr. Kim perlu diuji melalui bukti-bukti dan saksi-saksi, terlebih perbuatannya menimbulkan keresahan bagai umat beragama secara meluas. Akan tetapi, apa yang disarankan Lamintang mengenai pasal delik agama berikut ini patut diperharikan, “Karena unsur ‘dengan sengaja’ itu oleh pembentuk undang-undang telah ditempatkan di depan unsur-unsur yang lain dari tindak pidana pertama yang diatur dalam pasal 156a KUHP, maka ‘kesengajaan’ pelaku itu juga harus ditujukan terhadap unsur-unsur yang lain dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP tersebut”. 
2. Ritual Keagamaan Mengganggu Ketenangan Orang Lain di Kecamatan Bangsal
Sejatinya, menjalankan ritual keagamaan merupakan perbuatan yang terpuji, karena implementasi dari pengakuan wujud Dzat Yang Maha Kuasa. Akan tetapi, jika ritual keagamaan dilakukan dengan mengganggu ketenteraman orang lain, maka nilai ibadah menjadi tereduksi. Akibatnya, menjalankan ajaran agama yang dilindungi oleh pemerintah dapat menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Agama yang semula bersifat privat dan pribadi menjadi urusan publik, karena menyentuh hukum publik. Demikian ini terjadi pada pengajian Shalawat Wahidiyah Desa Gayam Kecamatan Bangsal. Pengajian ini di bawah bimbingan Drs. KH. Cholil Arpapy, Sekretaris MUI Mojokerto. Dalam ritualnya, pengajian yang dihadiri oleh sekitar 100 jamaah ini banyak membaca Shalawat Nabi SAW, selain doa-doa tertentu. Ketika membaca Shalawat “Ya Sayyidii Ya Rasulallah”, para jamaah membacanya dengan suara sekeras mungkin hingga mencapai titik di bawah sadar. Tanpa terasa, para jamaah pun meneteskan air mata. Menurut Kyai Cholil, ritual ini bukan tanpa dasar. Ia menyebutkan sebuah hadits yang menganjurkan ibadah dengan menangis di saat orang-orang tidur terlelap. Tidak hanya itu, kyai yang mengasuh Pondok Pesantren Baiturrrahman Gayam ini juga menjelaskan bahwa pengajian yang diadakannya tersebut memiliki afiliasi dari KH. Hayyi Muhyiddin dari Malang. 
Dilihat dari geografis, letak Pondok Pesantren Baiturrahman tempat pengajian Shalawat Wahidiyah berlangsung berada agak jauh dari pemukiman warga. Di sekitar tempat ini, terdapat beberapa lahan kosong, sedangkan di belakangnya adalah area persawahan. Dari fakta ini, suara keras yang berada dalam gedung sulit dikatakan menimbulkan gaduh oleh warga sekitar. Ketika hal ini ditanyakan kepada beberapa warga, ternyata mereka memberikan varian jawaban. Saidi, 49 tahun, yang rumahnya tepat di depan pondok pesantren Baiturrahman merasa terganggu dengan kegiatan keagamaan tersebut. “Mbok yo ngaose boten tengah dalu. Ngeteniki lah ngganggu tiang sare se (supaya mengajinya tidak saat tengah malam. Bukankah ini mengganggu orang yang tidur)”, katanya. Pendapat Saidi ini juga dibenarkan oleh tetangganya, Sarmini, seorang ibu dengan tiga orang anak. Begitu pula, Mbah San –demikian ia dipanggil- dan Lasmo juga mempertanyakan adanya pengajian di tengah malam. Menurut Lasmo, seorang pemuda yang kritis, “Biasanipun ngaos niku lha supados dipun pirengaken tiang katah, ngeteniki lha sak kajenge piyambak (biasanya mengaji itu supaya didengarkan oleh orang banyak. Begini ini seenaknya saja)”, ujar pemuda yang bekerja di Pasar Sawahan saat berada di warung kopi. Lasmo juga menambahkan bahwa sebelum diprotes oleh warga dusun, pengajian itu semula menggunakan pengeras suara, sehingga warga merasa terganggu. Apalagi, saat membaca “Ya Sayyidii Ya Rasulullah” dengan menjerit keras.
Ketika keluhan para warga di atas dikonfirmasikan kepada KH. Cholil Arpapy, pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten Mojokerto ini hanya tersenyum saja. Ia berdalih bahwa pengeras suara dalam pengajian itu dihadapkan pada area persawahan. Selain itu, menurutnya, tidak sedikit warga sekitar yang mengikuti pengajiannya, meski masyarakat luar Desa Gayam juga banyak yang mengikutinya. Demikian pula, protes para pemuka agama Desa Gayam disebutnya sebagai kelompok “ulama yang tidak memiliki jamaah”. Ia pun tidak terima jika pengajiannya dianggap sebagai aliran sesat. Ia, bahkan, menunjukkan bahwa ibadah yang dilaksanakannya bersumber dari para ulama yang shaleh. Dengan keyakinan ini, ia tidak peduli dengan komentar pemuka agama lain yang menyudutkan dirinya.
Dalam konteks hukum, delik pidana yang bisa diarahkan pada kasus di atas adalah gangguan terhadap masyarakat. Pengajian Kyai Cholil tidak bisa dijerat dengan delik agama, karena ia tidak menyatakan perasaan kebencian maupun penghinaan terhadap umat beragama serta tidak menyalahgunakan ajaran agama. Apa yang dituduhkan sesat oleh pemuka agama Desa Gayam tidak dapat dibenarkan, karena tidak terkait dengan ajaran pokok agama. Perbedaan dalam cabang agama merupakan suatu keniscayaan dalam agama.
Berkenaan dengan pengajian dengan suara keras di tengah malam saat orang lain sedang istirahat dapat dijerat dengan delik kejahatan maupun delik pelanggaran. Jika gangguan ketenteraman akibat pengajian Shalawat Wahidiyah meluas hingga menimbulkan kekhawatiran bagi elemen masyarakat, maka ia dijerat dengan pasal 172 KUHP: “Barangsiapa dengan sengaja karena teriakan atau dengan isyarat palsu mengganggu ketenteraman, dihukum penjara selama-lamanya tiga minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-“. Akan tetapi, apabila gangguan ketenteraman hanya berskala kecil, yakni hanya masyarakat sekitarnya yang merasa terganggu istirahat malamnya, maka ia dikenakan delik pelanggaran, yaitu pasal 503: “Dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga hari atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 225,- dihukum; (1e) barangsiapa membuat riuh atau ingar, sehingga pada malam hari waktunya orang tidur dapat terganggu; (2e) barangsiapa membuat riuh di dekat rumah yang digunakan untuk melakukan ibadat yang tidak dilarang atau untuk menjalankan pengadilan pada ketika orang melakukan ibadat atau pengadilan bersidang”.
Unsur kesengajaan menjadi ketentuan bagi kedua delik ini. Selain itu, pasal ini juga menekankan pada delik materiil, yakni menekankan pada aspek akibat perbuatan hukum. Dengan kata lain, apapun bentuk perbuatannya jika dengan sengaja menimbulkan gangguan atas ketenteraman orang lain, maka ia dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Oleh karena itu, meskipun pengajian agama dilindungi oleh negara, namun jika mengganggu ketenteraman orang lain dapat dijerat sebagai perbuatan pidana. Untuk menentukan gangguan ketenteraman, dapat dilihat dari kebiasaan masyarakat. Pada malam hari, masyarakat umumnya melakukan istirahat, karenanya suara keras pada tengah malam dianggap sebagai gangguan. Hal ini berbeda dengan suara keras dalam pengajian di siang hari ketika banyak masyarakat yang masih melakukan aktivitasnya.

3. Pemanfaatan Pondok Pesantren Oleh Orang Non-Muslim di Kecamatan Gondang
Pondok pesantren merupakan simbol keagamaan umat Islam, karena ia merupakan institusi pendidikan Islam. Dalam pondok pesantren, terdapat lima elemen dasar, yaitu kyai, masjid, pondok, santri, dan kitab kuning. Kelima elemen ini dimiliki oleh Pondok Pesantren Ketagen Gondang yang diasuh oleh Gus Rofi’ Fi Fikri. Ia adalah putra dari KH. A. Afandi dari Tawar, seorang ulama kenamaan di Kecamatan Dlanggu. Gus Rofi’ –demikian ia disapa- dibangunkan pondok pesantren oleh ayahnya dengan tanah yang statusnya wakaf pada tahun 2002. Selama tiga tahun, Gus Rofi’ membimbing para santrinya yang berjumlah kurang lebih 100 orang putra dan putri. Menurut penjelasan dari Ketua RT 14, Muhammad Na’im (46 tahun), Gus Rofi’ tidak memberikan simpati kepada warga sekitar pondok pesantren. Dalam beberapa pengajiannya, Gus Rofi’ justru menyinggung perasaan warga sekitar. “Masak, warga sini dikatakan PKI”, kata Na’im. Tidak hanya itu, kedekatan Gus Rofi’ dengan para pejabat pemerintah membuatnya agak angkuh dalam pandangan warga. Muhammad Na’im mengemukakan pengalamannya saat menyampaikan pendaftaran KTP kepada Gus Rofi’. Saat itu, Gus Rofi’ menjawab bahwa ia tanpa mendaftar juga bisa menerima KTP dari Pak Camat Gondang. Di samping itu, banyak warga sekitar yang merasa tertipu Gus Rofi’ dalam urusan keuangan. Pada tahun 2005, pondok pesantren Gus Rofi’ dibubarkan, karena semua aset disita pihak bank sebagai jaminan hutang Gus Rofi’.
Sikap Gus Rofi’ di atas tidak menghebohkan masyarakat luas, melainkan kebijakannya yang menyerahkan perawatan aset pondok pesantren kepada seseorang yang beragama Kristen. Kebijakan ini dijadikan isu bahwa pondok pesantren tersebut telah dibeli dan dimanfaatkan oleh orang Kristen. Selain itu, kitab-kitab Gus Rofi’ dan Al-Qur’an dibakar oleh orang Kristen yang bernama Sugondo. Rumah Sugondo berada di sebelah pondok pesantren Gus Rofi’. Menurutnya, ia diberikan kepercayaan merawat dan membersihkan pondok pesantren, karena umat Islam yang lain memusuhi Gus Rofi’. Ketika dikonfirmasikan mengenai pembakaran kitab dan al-Qur’an, ia mengakuinya, namun hal itu dilakukan untuk membersihkan semua ruangan, karena beberapa gedungnya akan disewa oleh orang Madura. Ia sama sekali tidak bermaksud menghina ajaran Islam maupun hal-hal yang terkait dengannya. Ia pun bertekad untuk tetap merawat dan membersihkan pondok pesantren Gus Rofi’, meski banyak pihak yang mengecamnya.
Apapun dalih yang dinyatakan oleh Sugondo di atas, kasus pondok pesantren Gus Rofi’ terlanjur meresahkan masyarakat. Menurut Sekretaris Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) sekaligus pegawai Kantor Departemen Agama Mojokerto, Drs. Nur Rahmat, M.Ag., para pemuka agama Islam se-kecamatan Gondang telah berkumpul membahas nasib pondok tersebut. Masyarakat sekitar pondok juga ingin menyelamatkan tanah dan bangunan pondok. Akan tetapi, setelah mengetahui status tanah dan bangunan yang telah digadaikan Gus Rofi’ serta Sugondo yang diberikan amanat olehnya, maka masyarakat menjadi apatis. 
Bentuk delik agama dari kasus di atas adalah pembakaran kitab suci al-Qur’an beserta kitab-kitab keislaman yang lain oleh seseorang yang bukan beragama Islam. Pembakaran ini tidak akan menimbulkan polemik dan keresahan jika hal itu tidak dilaporkan oleh pihak lain kepada masyarakat luar. Begitu pula, pembakaran al-Qur’an juga tidak dipermasalahkan jika dilakukan oleh seorang muslim dengan tanpa maksud pelecehan. Oleh karena itu, kasus ini lebih didominasi oleh faktor prasangka negatif atas golongan umat beragama lain. Perasaan permusuhan, kebencian, dan penghinaan kepada sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia (pasal 156 KUHP) dapat dilakukan dengan penghinaan atribut agama maupun ajarannya, semacam kitab suci dan pondok pesantren. Bahkan, pasal 177 secara langsung menyebutkan, “Dihukum penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.800,-: (1e) barangsiapa mengolok-olok seorang pegawai agama dalam menjalankan pekerjaannya yang diizinkan; (2e) barangsiapa menghina benda yang dipergunakan untuk mengerjakan ibadat, sedang tempat-tempat dan waktu mengerjakan ibadat itu diizinkan”. Dalam komentar R. Soesilo, “apabila benda itu betul-betul sedang digunakan ibadat di tempat ibadat yang tidak dilarang”. Karenanya, pasal ini tidak bisa menjerat pemeluk Kristen yang membakar kitab suci yang sudah tidak digunakan ibadat.
Pembakaran kitab suci saja belum cukup dijerat delik agama selama belum ditemukan unsur melawan hukum subyektif, yakni sengaja menyatakan permusuhan, kebencian, dan penghinaan. Pembakaran al-Qur’an oleh pemeluk Kristen di atas dapat saja didorong oleh motif membersihkan barang-barang yang dianggap tidak digunakan. Namun demikian, kesengajaan dapat dianggap cukup jika ia mengetahui bahwa yang dibakar itu merupakan kitab suci umat Islam, meski ia tidak mengira bahwa perbuatannya menimbulkan dampak keresahan umat Islam. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh pemeluk Kristen dapat dikategorikan delik agama, karena sulit diterima jika ia tidak mengetahui bahwa kitab al-Qur’an dan pondok pesentren tidak terkait dengan Islam. Sebagi tetangga Gus Rofi’, tentu saja ia lebih mengetahui mengenai aktivitas santri.
Terkait dengan “di muka umum” dalam pasal tersebut, pembakaran kitab suci itu sudah memenuhinya. Meskipun tidak ada seorang pun yang melihatnya saat melakukan pembakaran, namun akibat dari perbuatannya adalah orang banyak telah mengetahuinya dan menjadi resah. “Asalkan perbuatan itu dapat didengar oleh publik”, tulis Lamintang. Dalam hal ini, gangguan ketertiban umum harus didahulukan daripada penodaan agama. 
4. Tuduhan Sesat di Kecamatan Bangsal
Penilaian sesat atas suatu ajaran agama masih belum ditemukan batasan yang definitif serta dalam perdebatan di kalangan tokoh agama. Umumnya, ajaran yang tidak dikenal di kalangan masyarakat tertentu dianggap sesat oleh masyarakat tersebut. Di samping itu, pemberian label sesat tidak lain adalah pemuka agama. Pemuka agama menyatakan sesat kepada pemuka agama lain. Pemuka agama yang dinyatakan sesat tidak bisa menerima tuduhan terhadap dirinya, sehingga ia pun berbalik mengecam pemuka agama yang menuduhnya. Perselisihan dan pertikaian dengan tuduhan aliran sesat demikian ini terjadi pada pengajian Al-Jabbar asuhan KH. Mukhlashon Rosyid (38 tahun) di Desa Sumber Tebu Kecamatan Bangsal. 
Pengajian al-Jabbar yang jumlah jamaahnya 40 orang ini dapat dikatakan sebagai pengajian model Tashawwuf (asketisme). Pengajian ini merupakan pengajian al-Qur’an dengan penafsiran sendiri oleh Kyai Mukhlashon. Model penafsiran semacam ini tidak diakui oleh kalangan pemuka agama. Model pengajian ini kerap kurang diterima bagi kebanyakan masyarakat, karena banyak perilaku yang ‘nyeleneh’ dan kurang wajar dalam pandangan masyarakat secara umum. Sebagai contoh, Kyai Mukhlashon pernah telanjang bulat di muka umum saat ia teringat mengenai ‘Dzat Allah’. Ketika itu, menurutnya, ia berkeyakinan bahwa dirinya menyatu dengan Allah, sehingga ia menganggap dirinya tidak berarti bagi manusia. Ia juga meyakini bahwa orang yang menghormat kepadanya selain Allah dipandangnya sebagai perbuatan menyekutukan Tuhan. Tentu saja, keyakinan semacam ini dianggap aneh oleh masyarakat awam. Ada yang memujanya, tetapi tidak sedikit yang mengecamnya. Para pemujanya kebanyakan berasal dari orang-orang yang pemahaman keagamaannya sangat minim. “Untuk mengentaskan orang-orang dari kebiasaan berjudi, minum-minuman keras, adu ayam, kita harus ikut bermain”, demikian salah satu pernyatannya yang kontroversial. 
Ketika menjelaskan mengenai pelaksanaan shalat, Kyai Mukhlashon kerap menghina para tokoh agama dan umat Islam. Baginya, mereka pada umumnya hanya melaksanakan shalat dengan tanpa mengingat Dzat Allah. Shalat harus yang tidak disertai dengan haqqul yaqin, berarti menyembah bayangannya saja, bukan menyembah Dzat Allah. Ia mengartikan haqqul yaqin dengan segala sesuatu yang bergerak dan keluar adalah Allah. Dari pemahaman ini, Kyai Mukhlashon meremehkan shalat maupun ibadah orang lain, karena dianggap sebagai ritual agama yang paling mendasar. Sikap ini tidak disukai oleh KH. Mahfud Zaini dan KH. Abdul Wahid. KH. Mahfud Zaini (66 tahun) adalah Rais Syuriah NU Kecamatan Bangsal sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Sirajut Thalibin Desa Sumber Tebu, sedangkan KH. Abdul Wahid (61 tahun) merupakan guru ngaji masyarakat Sumbertebu. Mereka menyebut Kyai Mukhlashon sebagai “Kyai Gerandong”. Tidak hanya itu, mereka juga menyatakan bahwa ajaran Islam yang dipahami oleh Kyai Mukhlashon adalah sesat sekaligus menyesatkan (dlallu wa adlallu). Pernyataan kedua pemuka agama ini sering dikemukakan di hadapan publik, sebagaimana pernyataan balasan yang disampaikan oleh Kyai Mukhlashon. Karena pengaruh kedua kyai tersebut demikian besar, maka banyak warga desa yang enggan –bahkan melarang- anak-anaknya mengaji kepada Kyai Mukhlashon.
Berdasarkan pasal 156 dan 156a KUHP, terjadi tindakan delik agama yang dilakukan oleh para pemuka agama di atas. Kyai Mukhlashon tidak hanya menghina pemuka agama, tetapi juga melakukan penodaan atas ajaran agama, yakni lebih mementingkan aspek batin (Tasawwuf) dibanding lahir (Fikih) agama. Dengan penafsiran yang kontroversial, ia melahirkan tingkah laku yang tidak wajar, meskipun masih tetap berpegang pada pokok agama. Hal semacam ini bisa menimbulkan keresahan bagi umat Islam secara umum, apalagi ia mempertontonkan tingkah lakunya di muka umum, semacam telanjang bulat dengan alasan menanggalkan atribut saat menghadap Allah. Sebelum, menilai unsur pidananya, terlebih dahulu hukum harus melihat unsur pertanggung-jawabannya. Pertanggungjawaban dan perbuatan merupakan syarat pemidanaan seseorang. Dalam hal ini, Kyai Mukhlashon harus diperiksa kejiwaannya, mengingat ia hidup secara tidak wajar. Selain itu, pertanggung-jawaban juga dilihat dari aspek kemampuannya dalam menafsirkan kitab suci, karena hasil penafsirannya berbeda secara signifikan dengan penafsiran pada umumnya.
Apabila unsur pertangung-jawaban dapat diterima, maka unsur perbuatan dapat diajukan, baik perbuatan yang menyalahgunakan ajaran agama maupun perbuatan yang melakukan penghinaan terhadap pemuka agama. Dari kasus Kyai Mukhlashon, tidak ada aspek yang meragukan bahwa ia telah melakukan tindak pidana delik agama.  
5. Penghinaan Terhadap Kyai di Kecamatan Bangsal
Agama dan pemuka agama sulitu dipisahkan. Penghinaan terhadap ajaran agama juga menyinggung perasaan pemeluk agama, terutama para pemuka agama. Begitu pula, penghinaan kepada pemuka agama juga berarti penghinaan kepada ajaran agama, mengingat posisi dan wewenang pemuka agama telah dilegitimasi oleh ajaran agama. ketidakpatuhan pemeluk agama kepada pemuka agama dianggap pelanggaran terhadap ajaran agama. Namun demikian, pemuka agama adalah manusia yang dilingkupi oleh kebutuhan, keinginan, dan kepentingan. Tidak sedikit pemuka agama yang menjadikan agama sebagai sarana pemenuhan kebutuhan, keinginan, dan kepentingannya. Untuk memenuhinya, banyak orang lain yang menjadi korban. Di antara mereka, ada yang bersikap pasif dengan menurunkan derajat kepatuhannya kepada pemuka agama dan ada pula yang bersikap aktif, yakni mengobarkan permusuhan dan kebencian terhadap pemuka agama. KH. Masrihan Asy’ari, Pengasuh Pondok Pesantren Rabithotul ‘Ulum Desa Temapel Kecamatan Jatirejo Kabupaten Mojokerto, pernah mendapatkan penghinaan dari umatnya setelah ia menyetujui kasus Gold Quest dalam suatu perdebatan di Hotel Sativa Pacet.
Gold Quest merupakan bisnis multi level marketing. Bisnis berantai ini melibatkan banyak pemuka agama, sehingga umat beragama pun –karena pola paternalistik yang masih mengental- mudah terlibat di dalamnya. Kepercayaan pemeluk agama kepada pemuka agama dalam keterlibatan bisnis semakin teguh jika memberikan banyak keuntungan. Namun, jika bisnis tersebut mengandung unsur penipuan, hingga banyak pemeluk agama yan dirugikan, maka kecaman dan penghinaan senantiasa dialamatkan kepada pemuka agama. Kyai Masrihan mengalami hal ini. Di Mojokerto, ia termasuk jajaran kyai kharismatik. Namun, dengan peristiwa penipuan oleh kalangan pengelola Gold Quest, kyai ini menjadi sasaran kecaman dan penghinaan oleh umat beragama. Kondisi semacam ini juga diperkeruh oleh orang-orang yang menjadi lawan politik Kyai Masrihan yang selalu dekat dengan Bupati Ahmady. 
Di antara kasus penghinaan kepada Kyai Masrihan adalah kecaman dari Ketua Muhammadiyah Mojokerto, Drs H. Imam Mahfudhi (60 tahun) dari Desa Sidomulyo Kecamatan Bangsal kabupaten Mojokerto. Dosen STIT Muhammadiyah Mojosari dan Universitas Darul Ulum Jombang ini pernah menyatakan Kyai Masrihan sebagai penghasut umat di hadapan para santri Pesantren Hidayatullah Bangsal. Salah seorang santri ini melaporkan hasutan Imam Mahfudhi kepada Ketua MWC NU Bangsal, yaitu KH Mahfud Zaini. Karena dianggap penghinaan kepada pemuka agama dari lembaga NU, Kyai Mahfudz melaporkan kasus ini kepada Ketua PCNU Mojokerto, KH. Syihabul Irfan Arif. Dari laporan Kyai Mahfud Zaini ini, terkuak berbagai penghinaan kepada Kyai Masrihan dari berbagai pemuka agama di Mojokerto, termasuk Johan Burhanuddin, Ketua LDII Mojokerto.
Berdasarkan pasal 156 KUHP, terjadi tindakan delik agama yang dilakukan oleh para pemuka agama di atas. Unsur obyektif dari para pemuka agama tersebut adalah penghinaan kepada pemuka agama yang lain. Penghinaan ini tidak terkait dengan ajaran agama yang disampaikan oleh pemuka agama, ajaran yang diyakininya, atau atribut keagamaan yang terkait dengannya, melainkan berhubangan aspek luar agama, yaitu bisnis yang digelutinya. Boleh jadi orang yang menghina Kyai Masrihan merasa dirugikan dalam bisnis Gold Quest, sehingga ia tidak bermaksud menghina keagamaan Kyai Masrihan. Akan tetapi, antara pemuka agama dan ajaran agama sulit untuk dipisahkan. Pemuka agama yang memiliki otoritas dalam menyampaikan ajaran agama, sedangkan ajaran agama memerintahkan umat beragama untuk mematuhi pemuka agama. Ajaran agama berada dalam pemikiran pemuka agama. Karenanya, memusuhi pemuka agama juga berarti memusuhi umat beragama yang berada dalam bimbingan pemuka agama sekaligus memusuhi ajaran agama yang menjadi pegangannya. 
Menyatakan permusuhan, kebencian, dan penghinaan kepada pemuka agama seringkali berakibat penolakan oleh para pengikutnya. Penolakan ini dapat berubah menjadi kriminalitas jika pernyataan permusuhan tersebut tidak bisa diredam. Apabila pihak yang menyatakan permusuhan, kebencian, dan penghinaan adalah pemuka agama yang memiliki kharisma, maka dikhawatirkan terlibat kekerasan antara pengikut pemuka agama. Oleh karena itu, seperti yang diusulkan Roeslan Saleh, bahwa pengambilan hukum harus melihat kenyataan-kenyataan di masyarakat, tidak semata-mata pendekatan normatif-sistematis. 
B. Delik yang Berhubungan dengan Agama
1. Pendirian Pabrik Bir di Kecamatan Ngoro dan Kutorejo
Pendirian sebuah pabrik tidak ada kaitannya secara langsung dengan masalah agama, tetapi lebih berhubungan dengan masalah ekonomi. Namun, agama dapat mempersoalkan pabrik yang memproduksi minuman yang dianggapnya haram oleh suatu agama, semacam pabrik bir Bintang. Dalam agama Islam, minuman bir diharamkan karena memabukkan. Secara umum, siapapun yang berhubungan dengan minuman keras –konsumen, distributor, penjual, penyedia, produsen, penyalur, atau siapapun yang membantunya- termasuk melakukan perbuatan haram. Dengan dalil ini, para pemuka agama Islam menolak pendirian pabrik bir di wilayah Kecamatan Ngoro. Setelah ditolak di Kecamatan Ngoro, pabrik bir mendapatkan lahan di Kecamatan Kutorejo dengan cara keji, yakni mengadu domba para pemuka agama.
Menurut penjelasan dari KH. Abdul Wahid Rozaq, pemuka agama yang terdepan dalam menolak berdirinya pabril bir di Kecamatan Ngoro, kasus pabrik bir bermula dari kebijakan Pemerintah Kotamadya Surabaya yang meminta pendirian pabrik di luar kota. Waktu itu, Gus Wahid –demikian panggilan akrabnya- menjadi ketua MWC NU Kecamatan Ngoro. Menurutnya, semula PT Multi Bintang sebagai produsen pabrik bir akan menempati kawasan Ngoro Industri Persada. Karena harga tanah yang mahal, pabrik ini membeli tanah di Desa Menduro dengan harga Rp. 15.000,- per meter. Hampir penduduk yang menjual tanahnya telah menerima uang muka antara 5 juta hingga 10 juta. Dengan inisiatif sendiri, Gus menggalang dukungan para kyai se-Kecamatan Ngoro sebanyak 35 orang untuk bersama menolak berdirinya pabrik bir. Bahkan tanda tangan penolakan pabrik bir juga dikembangkan ke seluruh kyai wilayah Kabupaten Mojokerto dengan harapan agar pabrik ini tidak berdiri di kawasan Kabupaten Mojokerto.
Dalam memperjuangkan penolakan pabrik bir, Gus Wahid mengakui banyak menerima tekanan dari berbagai pihak, terutama pemerintah dan investor. Ia pernah ditawari sejumlah uang 600 juta rupiah oleh pihak investor, namun ia tampik secara halus. Banyak pejabat pemerintah yang meminta Gus Wahid agar mencabut penolakan pabrik bir. Gus Wahid pun juga tidak bergeming. Bahkan, proposal penolakannya ditujukan secara langsung kepada Gubernur. Selain itu, masyarakat Desa Manduro –setelah diberi pemahaman tentang hukum agama Islam atas berdirinya pabrik minuman keras- mendukung langkah Gus Wahid. Karena tidak ada persetujuan dari semua pihak, investor pabrik bir memindahkan ke wilayah Kecamatan Kutorejo.
Kasus pabrik bir di atas merupakan gambaran suatu aktivitas yang meresahkan umat beragama. Kerasahannya bukan dari segi penodaan atau penyalahgunaan ajaran, melainkan aktivitas yang bertentangan dengan hukum agama. Di samping itu, terdapat kekhawatiran dari para pemeluk agama bila berdirinya pabrik bir memudahkan masyarakat untuk melanggar ajaran agama, yakni meminum minuman keras. Berkenaan dengan kasus delik yang berhubungan dengan agama, kasus ini di luar kategori Oemar Senoadji yang hanya memasukkan pasal 175-181 KUHP. Meski demikian, secara teori, pabrik bir membuat keresahan umat beragama bukan dari aspek penanaman modal atau investasi, melainkan jenis produknya berupa minuman keras. Pasal 300, 536, 537, 538, dan 539 KUHP telah mengatur mengenaai minuman keras. Hanya pihak yang dipidana adalah mereka yang penjual atau penggantinya, atau memberikannya secara gratis sebagai hadiah, apalagi kepada anak-anak yang umurnya di bawah 16 tahun. R. Soesilo, saat memberi komentar pada pasa 538, menulis, “Yang dapat dihukum menurut pasal ini hanyalah “penjual atau penggantinya”, jadi jika yang memberikan minuman keras itu bukan “penjual” minuman keras atau penggantinya, tidak dihukum. Akan tetapi, apabila anak itu menjadi mabuk, ia dapat dikenakan pasal 300”. Dengan demikian, secara pidana tidak ada pasal yang dapat menjerat produsen pabrik bir. 
Keterkaitan pabrik bir dengan agama tidak secara langsung, namun dampak keresahannya lebih tinggi. Walaupun produknya dapat dipasarkan untuk konsumen di luar daerah, namun terbukti bahwa masyarakat sekitar tidak jarang diberi minuman bir yang memabukkan itu secara gratis. Selain itu, sebagaimana penjelasan Gus Wahid, membolehkan pendirian pabrik bir dalam pandangan agama berarti menolong perbuatan dosa. Hadits Nabi SAW juga mengemukakan larangan apapun yang membantu minuman keras. Dari sini, pendirian pabrik bir pun dipersoalkan oleh hukum agama yang berkembang di masyarakat. Dengan mengacu aspek ini, maka secara sosio-legal pabrik bir dianggap sebagai pidana delik agama, yakni menyatakan permusuhan, kebencian, dan penghinaan kepada pemeluk agama. Pernyataan ini diterapkan dengan mempertahankan pendirian dan pengelolaan pabrik bir yang bukan saja tidak dikehendaki oleh pemeluk agama, tetapi juga dibenci. Meski berbagai protes telah dilakukan oleh para pemuka agama, namun dengan cara kolutif pabrik bir bisa menampik penolakan tersebut.
2. Penempatan Kuburan Non-Muslim di Wilayah Muslim Kecamatan Pacet
Menurut ajaran agama manapun, tidak ada persoalan dalam membuat makam di pemakaman yang berbeda agama. Hal ini dapat disamakan dengan pendirian rumah yang bertetangga dengan umat yang berlainan agama. Namun, tidak adanya larangan tersebut bukan berarti diperbolehkan melakukannya, karena terdapat variabel lain yang mencegahnya, yaitu faktor dampak. Faktor ini sering mengemuka bila terjadi konflik antar umat beragama, terutama didorong oleh saling tertutup dan saling curiga. Pola demikian ini terjadi pada kasus pendirian Trawas Memorial Park (TMP) yang menghebohkan umat beragama di Kabupaten Mojokerto pada tahun 2005.
Dalam penjelasan Nur Rahmad, Staf Penerangan Masyarakat Islam Depag Kabupaten Mojokerto dan menjadi tokoh agama yang berdomisili di Pacet, proyek TMP memiliki program mendirikan makam Tionghoa/Kristiani, pengadaan pasar kembang, serta program pemberdayaan ekonomi lainnya. Jika proposal yang diajukan oleh invstor dari Jakarta tersebut dikaji secara teliti, maka muncul agenda yang tersembunyi, yaitu kristenisasi. Dalam analisis Rahmat, Desa mojokembang yang akan dijadikan sebagai lokasinya hanya memiliki luas sekitar 95 ha, sedangkan pihak investor membutuhkan tanah seluas 280 ha. Dengan demikian, tanah yang dibeli melebihi kawasan satu desa. Selain itu, terkait dengan pendirian makam adalah pendirian gereja, padahal tidak ada umat Kristiani di wilayah tersebut. Isu yang paling menonjol dalam pendirian TMP adalah rencana dibangunnya patung simbol Kristiani yang termegah dan terbesar. Dari analisis ini, para pemuka agama menggalang kekuatan untuk menolak pendirian TMP.
Akibat penolakan para pemuka agama dengan didukung Organisasi Kemasyarakatan Islam dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), maka terjadi ketegangan antara pemuka agama dengan aparatur pemerintah. Selain itu, isu-isu yang menyudutkan para pemuka agama dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggung-jawab. Di antara isu tersebut juga menyudutkan beberapa pemuka agama, seperti menerima sejumlah uang dari investor, ikut terlibat dalam persetujuan TMP, dan sebagainya. Mereka berusaha membelokkan isu keagamaan ke isu ekonomi. Masalah yang dimunculkan oleh pemerintah adalah sektor ekonomi, sedangkan masalah yang diajukan oleh para pemuka agama adalah pemurtadan, yakni konversi agama oleh pihak tertentu. Masyarakat desa setempat juga dimanipulasi oleh pemerintah, sehingga tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Menurut Rahmat, setelah kejadian penolakan TMP, hubungan pemuka agama dan aparat pemerintah Kecamatan Pacet menjadi renggang, seperti tidak adanya undangan bagi pemuka agama dalam upacara renungan kemerdekaan selama dua tahun terakhir.
Peristiwa penolakan TMP oleh pemuka agama menunjukkan adanya keresahan umat beragama akibat agenda yang tersembunyi. Terlepas dari kebenaran agenda tersebut, pemuka agama tidak memiliki informasi yang akurat dan legal atas program yang akan dilakukan investor. Secara sosiologis, pendirian TMP kurang disosialisasikan dengan baik kepada para pemuka agama, namun sosialisasi hanya ditonjolkan pada aspek ekonomisnya. Secara pidana, pendirian TMP yang meresahkan golongan umat beragama dapat dikenakan delik materiil dari delik agama. namun, delik formil tidak dapat diajukan pidana, karena ia hanya merupakan investasi. Pasal 175, 178, 179, 180, dan 181 yang terkait dengan pemakaman hanya mengemukakan perusakan makam, menghalangi jenazah atau upacara pemakaman, dan merusak mayat, bukan pendirian makam. 
Secara antropologis, pendirian makam terkait dengan keagamaan masyarakat –tidak hanya saat upacara pemakaman, tetapi juga tentang makna kematian- sehingga ia dapat disamakan dengan pendirian tempat ibadat. Berkenaan dengan pendirian tempat ibadat, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006/Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepada Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat pasal 9 ayat 2 (e) menyebutkan salah satu dari tugas FKUB adalah “memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat”. Dengan demikian, pendirian TMP tanpa rekomendasi FKUB berarti penghinaan terhadap pemuka agama yang dapat dijerat oleh pasal 156 KUHP.
C. Temuan dan Analisis
Untuk menentukan tindak pidana sebagai delik agama dari beberapa kasus di atas memerlukan kajian yang mendalam. Pasal 156 KUHP tidak menyetakan perbuatan hukum secara tegas, melainkan “menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan”. Klausul ini menunjuk pada ranah perasaan. Dalam gejala jiwa manusia, terdapat tiga bentuk, yaitu pemikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan tingkah laku atau perbuatan (konatif). Yang bisa dijerat dan dibuktikan dalam hukum hanya apa yang bisa ditangkap oleh panca indera, yakni pada ranah tingkah laku (konatif). Menurut konstruksi hukum atas pasal 156 dan 156a KUHP, suatu tingkah laku dapat dipandang sebagai delik agama bila disertai dengan perasaan kebencian, permusuhan, dan penghinaan. Akan tetapi, pembuktian perasaan tersebut bukan hal yang mudah. Dalam agama, pengungkapan perasaan, permusuhan, dan penghinaan merupakan perbuatan yang tercela, karena ia dinilai berburuk sangka. Karenanya, para pemeluk agama menghindari sesuatu yang menjadi urusan pribadi individu dengan Tuhannya. Agama mengajarkan hubungan antara manusia dan Tuhannya serta hubungan antara manusia dan makhluk Tuhan. Hubungan manusia dan Tuhan merupakan merupakan wilayah personal, semacam keyakinan yang dilandasi oleh pemikiran dan maksud hati yang didasarkan pada pengalaman keagamaan. Hukum agama (dalam Islam disebut Fikih) tidak bisa menelisik nilai keikhlasan, kemunafikan, kesombongan, dan semacamnya yang termasuk perbuatan hati dan akal. Wilayah personal ini dapat masuk wilayah hukum manakala diwejahwentahkan dalam bentuk perbuatan atau tingkah laku. Perbuatan ini juga dibedakan antara perbuatan yang mengandung dampak pada diri sendiri dan dampak pada orang lain. Kategori terakhir inilah yang dapat dikenakan delik agama, karena memasuki wilayah publik. Jadi, delik agama dapat diketahui dari delik materiilnya. Kasus-kasus di atas tidak dinilai sebagai delik jika tidak membuat pemeluk agama yang lain resah atau terhina.
Pemikiran di atas diperkuat oleh klausul “di muka umum”. Klausul ini juga menjadi pertimbangan kekuatan delik agama. karenanya, proposisi hukum dapat dirumuskan: “Semakin banyak pemeluk agama yang resah, semakin besar delik agamanya”. Tingkat keresahan tersebut dapat didukung oleh tingginya kharisma pemuka agama yang menjadi sasaran penghinaan (terkait dengan pasal 156 KUHP) atau wilayah ajaran agama yang dipersoalkan (terkait pasal 156a KUHP). Karenanya, penghinaan kepada Kyai Masrikhan yang memiliki jamaah yang banyak serta disegani oleh masyarakat luas memiliki delik agama yang lebih kuat dibanding dengan penghinaan Kyai Mukhlason kepada Kyai Mahfud yang hanya sebagai pemuka agama lokal. Begitu pula, penyalahgunaan ajaran agama pada aspek penafsiran kitab suci oleh Kyai Mukhlason tidak sebesar dibanding penodaan Mr. Kim atas pelaksanaan shalat. Dalam ajaran Islam, ritual shalat menjadi tiang agama yang tidak boleh dirobohkan siapapun.
Untuk menjadi diketahui oleh masyarakat umum, delik agama harus disertai dengan delik aduan. Sejatinya, pemuka agama tidak mengetahui peristiwa delik agama tersebut, kecuali ada pengaduan dari pemeluk agama. pemuka agama menjadi tempat pengaduan, bukan kepada penegak hukum. karena ia memiliki otoritas keagamaan yang ditetapkan secara teologis dan sosiologis. Secara teologis, ajaran agama memerintahkan pemeluk agama untuk menaati pemuka agamanya. Secara sosiologis, pemuka agama yang memiliki kemampuan menafsirkan ajaran agama dibutuhkan oleh pemeluk agama dalam memimpin dan membimbing pengamalan agamanya. Dari pemuka agama ini, delik agama dapat diputuskan: apakah dilanjutkan sebagai tuntutan ataukah dihentikan; apakah dituntut di pengadilan ataukan di luar pengadilan. Pertimbangan yang mempengaruhi keputusan ini bisa subyektif, obyektif, atau keduanya.
Unsur subyektif terkait dengan kepentingan pemuka agama yang menerima pengaduan. Hal ini bisa terjadi manakala ada hubungan antara pelaku delik dengan pemuka agama yang menerima pengaduan. Unsur subyektif ini bisa memperkecil delik agama –bahkan meniadakan sama sekali- bila hubungan keduanya terjalin harmonis atau keduanya dalam satu aliran agama. sebaliknya, bila ada ketegangan antara keduanya, maka delik agama bisa menjadi lebih besar. Ketegangan ini bisa dipicu oleh kepentingan politik, ekonomi, maupun sosial. Apa yang dilakukan oleh Gus Bisri terhadap Kyai Cholil lebih kental nuansa kepentiangan sosialnya, meski keduanya satu aliran NU. Kyai Cholil yang menjadi Sekretaris MUI adalah pendatang di Desa Gayam yang memiliki prestise sosial lebih tinggi daripada Gus Bisri yang merupakan putra Kyai, pendiri pesantren Desa Gayam. Hal yang sama juga terjadi pada kasus Kyai Mukhlason (pelaku delik) dan Kyai Mahfud (penerima aduan) yang dominan faktor sosial dan kasus Imam Mahfudi (pelaku delik) dan Kyai Mahfud (penerima aduan) karena ada faktor beda aliran.
Unsur obyektif terwujud apabila pelaku delik tidak memiliki hubungan dengan pemuka agama sebagai penerima aduan. Unsur obyektif adalah melihat delik agama dari kasusnya, tanpa mempertimbangkan pelakunya. Pertimbangan pemuka agama secara obyektif adalah dengan menelaah materi delik agama dari sudut pandang agama serta perkiraan dampak yang ditimbulkannya. Delik agama dapat dinilai kecil bila tidak menyangkut dasar-dasar agama yang paling pokok. Kasus-kasus delik agama di atas tidak termasuk kategori delik agama besar serta dampaknya tidak sampai meluas hingga tingkat nasional. Berbeda dengan kasus Ahmad Mashaddeq dan Lia Aminuddin. Meluasnya kasus ini karena penodaan ajaran pokok agama Islam, yakni Mashaddeq mengaku menjadi nabi dan Lia mengaku sebagai Jibril, malaikat yang bertugas menyampaikan wahyu. Selain itu, delik agama ini telah meluas secara nasional. Hal ini dapat disebabkan oleh kurang tanggapnya pemuka agama saat kedua kasus ini masih kategori delik agama kecil. Dari pemikiran di atas, dapat dirumuskan suatu proposisi: “Delik agama menjadi bias jika didukung faktor subyektif dan menjadi tegas bila disertai faktor obyektif”.
Banyak pemuka agama yang tidak memahami hak mereka ketika terjadi penghinaan dan penodaan kepada agama maupun pemuka agama. Mereka melihat hal itu dengan sudut pandang agama, bukan perspektif hukum pidana. Dalam sudut pandang agama, penghinaan kepada pemuka agama dianggap sebagai ujian hidup yang harus dilalui dengan kesabaran. Ajaran agama yang menampilkan sisi kedamaian diwujudkan oleh pemuka agama dengan sikap memaafkan. Selain itu, pemeluk agama dan masyarakat secara luas masih melihat hak melaporkan penghinaan tersebut sebagai tindakan yang lemah, jika enggan dikatakan sebagai perbuatan yang tercela, karena pemuka agama dinilai kurang sabar. Oleh karena itu, rumusan delik agama dalam pasal 156 dan 156a KUHP sering terjadi di masyarakat, tetapi sedikit sekali yang menjadi perhatian publik. Umumnya, delik agama yang menonjol terkait dengan penghinaan antar pemuka agama yang berlainan agama atau penodaan ajaran pokok dan mendasar dari suatu agama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar