BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
L.J. van Apeldoorn mengemukakan empat arti tentang negara. Pertama, perkataan negara dipakai dalam arti penguasa, yakni orang atau orang-orang yang melakukan kekuasaan yang tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal di suatu daerah. Kedua, negara dapat berarti pula persekutuan rakyat, yakni untuk menyatakan sesuatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah dibawah kekuasaan yang tertinggi menurut kaedah-kaedah hukum yang sama. Ketiga, negara adalah suatu wilayah yang tertentu, yakni suatu daerah yang didiami suatu bangsa di bawah kekuasaan yang tertinggi. Keempat, negara diartikan sebagai kas negara atau fiskus, yakni harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum. Negara merupakan sebuah konsep yang terdiri dari tiga komponen yang terpadu, yaitu wilayah, pemerintah, dan rakyat. Persoalan negara merupakan persoalan pemerintah dan rakyat yang dibatasi oleh wilayah tertentu.
Hubungan antara negara dan agama memiliki empat bentuk. Bentuk pertama adalah negara teokrasi, yaitu keterpaduan agama dan negara. Bentuk ini banyak terwujud pada masa lalu, ketika agama memiliki kekuasaan atas negara, semacam negara Islam di kawasan Semenanjung Arabia dan negara Kristen di kawasan Eropah. Suatu negara teokrasi didasarkan pada hukum agama tertentu. Hukum agama yang dimaksud termaktub dalam kitab suci agama tersebut. Hukum agama ini tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual belaka, namun juga mengatur tata hidup berbangsa dan bernegara. Bentuk kedua adalah negara sekuler. Bentuk ini kebalikan dari bentuk yang pertama, yaitu pemisahan antara agama dan negara. Saat ini, bentuk semacam ini hampir menyeluruh di belahan dunia, terutama negara-negara maju. Agama adalah urusan pribadi warga negara, sedangkan negara bersifat publik. Negara tidak diperkenankan intervensi atas agama, begitu pula, agama tidak boleh dibawa masuk dalam urusan kenegaraan dan kemasyarakatan. Bentuk keempat adalah negara atheis, yaitu suatu negara yang tidak mengakui keberadaan agama apapun, sehingga semua warga negaranya tidak beragama. Mereka hanya percaya dengan kebenaran akal dan tidak percaya dengan kebenaran Tuhan. Negara bentuk ini hampir jarang dijumpai, meski pada negara yang menganut paham sosialis sekalipun. Bentuk keempat adalah negara teodemokrasi, meminjam konsep dari Abu Al-A’la Al-Maududi, salah satu pendiri negara Pakistan. Meski tidak sepenuhnya tepat dengan konsep al-Maududi, teodemokrasi merupakan negara yang mengakui kedaulatan Tuhan dan menjadikannya sebagai landasan idiil, tetapi implementasinya menggunakan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Pengakuan ini menuntut perlindungan agama serta pemeluk agama. Republik Indonesia menganut bentuk yang terakhir ini.
Posisi agama dalam sistem hukum di Indonesia cukup unik. Di satu sisi, agama diakui oleh negara, di sisi yang lain agama sering menjadi pemicu konflik. Untuk itu, negara memainkan peranan penting terhadap agama. Setidaknya, ada tiga peranan negara. Pertama, negara melindungi eksistensi agama. Pengakuan negara atas agama dicantumkan dalam sila pertama dari Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai causa prima, Pancasila merupakan sumber hukum yang utama. Dari Pancasila, konstitusi atau Undang-undang dasar 1945 mengemukakan pasal-pasal tersendiri yang mengatur keberadaan agama, seperti pasal 29 (1) "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kedua, negara memberikan kebebasan kepada para pemeluknya untuk menjalankan ajaran agamanya. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 29 (2) juga menyatakan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu."
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international sebagaimana tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR. Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif Negara. Makanya, hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Apabila negara terlalu intervensi, hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
Ketiga, negara melakukan intervensi dalam menyelesaikan delik agama. Hal ini telah diatur dalam pasal 156 dan 156a KUHP. Dalam pasal 156 disebutkan: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Sementara itu, pasal 156a yang merupakan tambahan dari Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1965 berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam KUHP (WvS) sebenarnya tidak ada bab khusus mengenai delik agama, meski ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai delik agama. Istilah delik agama itu sendiri sebenarnya mengandung beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap agama; c) delik yang berhubungan dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama. Sedangkan pasal 156a yang sering disebut dengan pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik yang berhubungan dengan agama tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu pertemuan /upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.
Dari ketiga peranan di atas, penelitian ini terfokus pada peranan negara dalam intervensi agama. Intervensi ini perlu dilakukan untuk menjaga kerukunan hidup umat beragama. Agama, menurut pasal di atas, perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci, dan sebagainya. Meski demikian, karena agama “tidak bisa bicara”, maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama. Meski ada jaminan perlindungan dan kebebasan beragama, namun konflik dan sengketa antara umat beragama tidak bisa dihindari. Sejatinya, dalam agama, terutama agama dakwah, memuat unsur yang mempengaruhi orang lain. Setiap ajarannya mengandung muatan untuk dilaksanakan secara pribadi sekaligus mengajak orang lain untuk mengikutinya. Proses ajakan ini sering terbentur pada keyakinan yang berbeda, sehingga muncul adanya konflik. Selain itu, otoritas penafsiran agama yang selama ini menjadi kewenangan para pemuka agama telah tereduksi akibat sekularisasi. Dampaknya adalah muncul apa yang dinamakan dengan relativisme agama. Dengan reletivisme ini, setiap umat berhak menafsirkan ajaran agamanya. Karenanya, saat ini banyak pemikiran keagamaan yang dianggap meresahkan umat agama yang lain. Persoalan-persoalan ini belum dapat diatasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga muncul benturan otoritas penyelesaiannya. Kasus Ahmadiyah adalah contoh yang menarik, karena terjadi penanganan hukum yang tarik ulur antara lembaga keagamaan –dalam hal ini, MUI- dan lembaga negara, yaitu kejaksaan, kepolisian, dan lain-lain.
Perlu dijelaskan bahwa pasal 156a tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP. Delik penodaan agama juga dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 yang tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu". Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima negara Pancasila. UUD 1945 pasal 29 juga menyebutkan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, kalau ada orang yang mengejek dan penodaan Tuhan yang disembah tidak dapat dibiarkan tanpa pemidanaan. Atas dasar itu, dengan milihat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai titik sentral dari kehidupan kenegaraan, maka delik Godslastering sebagai blasphemy menjadi prioritas dalam delik agama.
Konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 tersebut tidak terlepas dari fenomena sosial yang melatarbelakanginya. Pertama, undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat. Penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman cita-cita revolusi dan pembangunan nasional. Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini. Ketiga, karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah, agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan. Aturan ini juga melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius]), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa, agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.
Adanya ketidakjelasan klausul dalam delik agama di atas memberikan peluang untuk menyelesaikannya dengan pendekatan sosial-politik daripada pendekatan hukum. Dalam pendekatan sosial-politik, lembaga agama lebih dominan dari lembaga negara. Berbeda dengan lembaga negara yang legal-formal, lembaga agama lebih beragam dan bersifat non-formal. Masing-masing lembaga agama memiliki pola pemikiran yang berbeda, sehingga munculnya penghinaan agama selalu disertai dengan perseliihan antar lembaga agama. Di samping itu, hampir setiap kasus penodaan dan penyalahgunaan agama senantiasa dapat diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga agama. Apabila lembaga agama belum dapat mengatasinya, maka delik agama diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Di wilayah Kabupaten Mojokerto, banyak kasus penodaan agama yang diselesaikan di luar pengadilan. Menurut A. Fauzi, Panitera Pengadilan Negeri Mojokerto, tidak ada arsip salinan keputusan mengenai delik agama, baik delik terhadap agama maupun delik yang berhubungan dengan agama. Padahal, masyarakat Mojokerto memiliki ragam agama serta ragam sekte agama. Ragam ini dapat ditelusuri dari sejarah masyarakat Mojokerto yang merupakan pusat Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, Budha, dan Islam. Oleh karena itu, akulturasi budaya antara budaya lokal dengan ajaran agama tidak dapat dihindarkan. Agama yang dianut oleh masyarakat Mojokerto pun memiliki keunikan tersendiri dibanding agama yang dijalankan masyarakat luar Mojokerto. Dengan akulturasi ini, ajaran agama dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga sering dipandang oleh orang lain sebagai penodaan ajaran agama. Di sisi lain, gesekan konflik antar agama sering muncul, tetapi tidak pernah terpublikasikan secara meluas. Gesekan konflik tersebut disebabkan oleh sifat ekspansi agama yang memperebutkan umat agama lain. Selain itu, faktor sosial-politik juga ikut mewarnai rasa kebencian terhadap pemuka agama dengan atas nama agama. Karena adanya pertemuan rutin setiap bulan antara para pemuka agama, baik internal agama maupun eksternal agama, maka konflik dan penodaan dapat diredam sedini mungkin. Menurut KH. Dimyathi Rasyid, Ketua MUI Mojokerto, kuatnya peranan lembaga agama serta jalinan yang teguh antar pemuka agama menjadi modal kepercayaan masyarakat Mojokerto dalam menyelesaikan delik agama.
B. Rumusan Masalah
Dari keterangan di atas, ada jarak antara penyelesaian delik agama dalam KUHP dan hukum agama yang berkembang di masyarakat. Untuk itu, ada dua rumusan masalah yang diangkat dari persoalan hukum tersebut.
1. Bagaimanakah bentuk delik agama yang terjadi di masyarakat Kabupaten Mojokerto ?
2. Bagaimanakah upaya penyelesaiannya oleh lembaga agama menurut koridor UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ?
C. Tujuan Penelitian
Dari masalah di atas, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan tentang:
1. Bentuk delik agama yang terjadi di masyarakat Kabupaten Mojokerto.
2. Upaya penyelesaiannya oleh lembaga agama menurut koridor Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi positif secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam mengembangkan teori hukum tentang Delik Agama, terutama pada aspek Hukum Acaranya yang diatur tersendiri oleh PNPS Nomor 1 Tahun 1965. Secara praktis, hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan oleh para praktisi hukum, pemuka agama, pengurus lembaga keagamaan, maupun pemerintah dalam menyelesaikan sengketa agama di masyarakat.
E. Kajian Pustaka
Kajian hukum mengenai delik agama kurang mendapatkan perhatian dibanding dengan delik yang lain. Perhatian pakar hukum pada masalah delik agama selalu muncul setelah ada kasusnya. Kasus delik agama yang muncul ke publik jarang terjadi. Begitu pula, kajian hukum delik agama sangat interdisipliner. Ia tidak bisa ditelaah dengan Ilmu Hukum saja, tetapi juga harus melibatkan Sosiologi Agama maupun Studi Agama. Karenanya, studi ini mengandung kesulitan tersendiri.
Kajian-kajian hukum mengenai delik agama dapat ditelaah dengan hukum pidana dan hukum perdata. Dari sudut hukum perdata, delik agama menyangkut masalah sengketa yayasan atau sengketa aset rumah ibadah. Persengketaan ini terjadi manakala muncul perpecahan sekte keagamaan yang berdampak pada klaim aset. Salah satu studi mengenai persengketaan yayasan, termasuk aset lembaga keagamaan, adalah kajian H.P. Panggabean . Kajian delik agama terfokus pada aspek pidana dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, kajian yang mengupas batasan delik agama. Batasan ini selalu mengacu pada delik agama yang tercantum dalam KUHP. Delik ini ditafsirkan dan dianalisa, sehingga hasilnya mengarah pada salah satu dari dua pemikiran, yaitu pemikiran untuk mempertahankan dan mengembangkan delik agama atau pemikiran untuk menghapus delik agama. Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihabuddin pernah mengembangkan kajian delik agama yang tercantum di KUHP dari sudut hukum Islam . Kajian serupa juga dilakukan oleh M. Khairul Anam dengan judul “Delik Agama dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”. Begitu pula, Bonar Tigor Naipospos membahas delik pidana agama dari sudut Hak Asasi manusia . Kajian M. Subhi Azhari dan Rumadi, peneliti dari The Wahid Institute Jakarta, menengarai adanya diskriminasi pada delik pidana ; Ifdhal Kasim, Direktur Reforn Institute, juga mengusulkan untuk menghapus delik agama . Dalam tataran kasus, penelitian delik agama pernah dilakukan oleh Hendra Krisnawan dalam Tesisnya yang berjudul “Delik Agama dalam Perundang-Undangan di Indonesia : Analisa Kasus K.H. Moch. Yusman Roy”.
Kedua, kajian yang menelaah hukum acara delik agama. Dalam hal ini, kajian difokuskan pada proses penyelesaiannya. Penyelesaian delik agama tidak mudah dilakukan, karena ada pertemuan antara lembaga agama yang menafsirkan ajaran agama dan lembaga negara yang menafsirkan delik agama. Ada hubungan yang erat antara ajaran agama dan delik agama, yakni penyimpangan ajaran agama dapat dinilai sebagai penodaan agama yang merupakan bagian dari delik agama. Selain itu, memahami delik agama harus memiliki pemahaman tentang ajaran agama atau fenomena agama. Oleh karena itu, lembaga negara tidak bisa berdiri sendiri, tetapi perlu pendampingan lembaga agama. Dalam penelusuran literatur yang masih terbatas, belum ditemukan kajian hukum yang menelaah kewenangan lembaga negara dam lembaga agama dalam penyelesaian delik agama. Kajian hukum acara delik agama hanya berkutat pada aspek pemidanaan, seperti kajian Oemar Seno Adji dan Eman Suparman . Keduanya tidak menulis buku tentang pemidanaan delik agama secara khusus, tetapi hanya menyinggungnya.
Dari klasifikasi di atas, penelitian ini akan menguraikan bentuk delik agama yang terjadi di masyarakat dan proses penyelesaiannya. Penyelesaian tersebut dilaksanakan oleh lembaga keagamaan di luar pengadilan dengan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, penelitian ini termasuk wilayah kajian Sosiologi Hukum. Kajian Sosiologi Hukum mengenai delik agama belum ditemukan, terutama dengan mengambil Kabupaten Mojokerto sebagai wilayah penelitiannya.
F. Pertanggung-jawaban Sistematika
Penulisan penelitian tesis ini dibagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-bab. Dalam bab pertama, pembahasan difokuskan pada permasalahan yang dirumuskan. Dari permasalahan ini, dibahas pula keunikan dan urgensi masalah serta tujuan dari penelitian ini. Di samping itu, nilai otentisitas penelitian juga dikemukakan dalam sub-bab Kajian Pustaka.
Bab kedua merupakan kajian teoritis. Teori-teori yang ditampilkan adalah hukum agama dan delik agama. Hukum agama berusaha menguak karakteristik ajaran agama serta fenomena agama. Dengan mengetahui fenomena dan ajaran agama, pemahaman tentang delik agama dapat diperoleh dengan mudah. Teori tentang delik agama hanya dibatasi pada ruang lingkup delik agama dan hukum acaranya.
Bab ketiga merupakan metode penelitian. Pada awal bab, dikemukakan keadaan masyarakat Mojokerto yang disorot dari sudut hukum dan agama. Sorotan ini menjadi alasan penting untuk melihat keunikan Kabupaten Mojokerto, sehingga menjadi pilihan wilayah penelitian. Dari gambaran wilayah penelitian, terumuskan data penelitian serta tehnik penggalian dan analisa datanya. Dengan demikian, metode penelitian merupakan jawaban atas cara memperoleh dan menguraikan hasil penelitian. Hasil penelitian pun tidak terlepas dari masalah yang telah dirumuskan.
Bab Keempat adalah jawaban yang mendetail dari rumusan masalah yang pertama, yaitu bentuk delik agama. Pembahasannya disesuaikan dengan makna delik agama menurut Oemar Seno Adji, yaitu delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama. Banyak kasus di Kabupaten Mojokerto yang terkait dengan dua arti delik agama tersebut. Namun, hanya beberapa kasus yang mengundang perhatian publik diungkapkan dalam penelitian ini.
Bab kelima juga merupakan jawaban dari rumusan masalah yang kedua, yakni proses penyelesaian delik agama tersebut. Ia dapat diselesaikan di pengadilan maupun luar pengadilan. Dalam kasus delik agama di Kabupaten Mojokerto, semua delik agama diselesaikan di luar pengadilan. Karenanya, bab ini hanya mengemukakan cara penyelesaian delik agama oleh pemuka agama dan lembaga keagamaan, seperti amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bab kelima adalah penutup. Dalam bab ini, jawaban singkat dari rumusan masalah dikemukakan dengan sub-bab simpulan. Begitu pula, saran-saran juga dikemukakan dan disesuaikan dengan rumusan manfaat penelitian pada bab pertama.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
L.J. van Apeldoorn mengemukakan empat arti tentang negara. Pertama, perkataan negara dipakai dalam arti penguasa, yakni orang atau orang-orang yang melakukan kekuasaan yang tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal di suatu daerah. Kedua, negara dapat berarti pula persekutuan rakyat, yakni untuk menyatakan sesuatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah dibawah kekuasaan yang tertinggi menurut kaedah-kaedah hukum yang sama. Ketiga, negara adalah suatu wilayah yang tertentu, yakni suatu daerah yang didiami suatu bangsa di bawah kekuasaan yang tertinggi. Keempat, negara diartikan sebagai kas negara atau fiskus, yakni harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum. Negara merupakan sebuah konsep yang terdiri dari tiga komponen yang terpadu, yaitu wilayah, pemerintah, dan rakyat. Persoalan negara merupakan persoalan pemerintah dan rakyat yang dibatasi oleh wilayah tertentu.
Hubungan antara negara dan agama memiliki empat bentuk. Bentuk pertama adalah negara teokrasi, yaitu keterpaduan agama dan negara. Bentuk ini banyak terwujud pada masa lalu, ketika agama memiliki kekuasaan atas negara, semacam negara Islam di kawasan Semenanjung Arabia dan negara Kristen di kawasan Eropah. Suatu negara teokrasi didasarkan pada hukum agama tertentu. Hukum agama yang dimaksud termaktub dalam kitab suci agama tersebut. Hukum agama ini tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual belaka, namun juga mengatur tata hidup berbangsa dan bernegara. Bentuk kedua adalah negara sekuler. Bentuk ini kebalikan dari bentuk yang pertama, yaitu pemisahan antara agama dan negara. Saat ini, bentuk semacam ini hampir menyeluruh di belahan dunia, terutama negara-negara maju. Agama adalah urusan pribadi warga negara, sedangkan negara bersifat publik. Negara tidak diperkenankan intervensi atas agama, begitu pula, agama tidak boleh dibawa masuk dalam urusan kenegaraan dan kemasyarakatan. Bentuk keempat adalah negara atheis, yaitu suatu negara yang tidak mengakui keberadaan agama apapun, sehingga semua warga negaranya tidak beragama. Mereka hanya percaya dengan kebenaran akal dan tidak percaya dengan kebenaran Tuhan. Negara bentuk ini hampir jarang dijumpai, meski pada negara yang menganut paham sosialis sekalipun. Bentuk keempat adalah negara teodemokrasi, meminjam konsep dari Abu Al-A’la Al-Maududi, salah satu pendiri negara Pakistan. Meski tidak sepenuhnya tepat dengan konsep al-Maududi, teodemokrasi merupakan negara yang mengakui kedaulatan Tuhan dan menjadikannya sebagai landasan idiil, tetapi implementasinya menggunakan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Pengakuan ini menuntut perlindungan agama serta pemeluk agama. Republik Indonesia menganut bentuk yang terakhir ini.
Posisi agama dalam sistem hukum di Indonesia cukup unik. Di satu sisi, agama diakui oleh negara, di sisi yang lain agama sering menjadi pemicu konflik. Untuk itu, negara memainkan peranan penting terhadap agama. Setidaknya, ada tiga peranan negara. Pertama, negara melindungi eksistensi agama. Pengakuan negara atas agama dicantumkan dalam sila pertama dari Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai causa prima, Pancasila merupakan sumber hukum yang utama. Dari Pancasila, konstitusi atau Undang-undang dasar 1945 mengemukakan pasal-pasal tersendiri yang mengatur keberadaan agama, seperti pasal 29 (1) "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Kedua, negara memberikan kebebasan kepada para pemeluknya untuk menjalankan ajaran agamanya. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 29 (2) juga menyatakan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu."
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.
Tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international sebagaimana tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR. Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif Negara. Makanya, hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Apabila negara terlalu intervensi, hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
Ketiga, negara melakukan intervensi dalam menyelesaikan delik agama. Hal ini telah diatur dalam pasal 156 dan 156a KUHP. Dalam pasal 156 disebutkan: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Sementara itu, pasal 156a yang merupakan tambahan dari Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1965 berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam KUHP (WvS) sebenarnya tidak ada bab khusus mengenai delik agama, meski ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai delik agama. Istilah delik agama itu sendiri sebenarnya mengandung beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap agama; c) delik yang berhubungan dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama. Sedangkan pasal 156a yang sering disebut dengan pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik yang berhubungan dengan agama tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu pertemuan /upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.
Dari ketiga peranan di atas, penelitian ini terfokus pada peranan negara dalam intervensi agama. Intervensi ini perlu dilakukan untuk menjaga kerukunan hidup umat beragama. Agama, menurut pasal di atas, perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci, dan sebagainya. Meski demikian, karena agama “tidak bisa bicara”, maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama. Meski ada jaminan perlindungan dan kebebasan beragama, namun konflik dan sengketa antara umat beragama tidak bisa dihindari. Sejatinya, dalam agama, terutama agama dakwah, memuat unsur yang mempengaruhi orang lain. Setiap ajarannya mengandung muatan untuk dilaksanakan secara pribadi sekaligus mengajak orang lain untuk mengikutinya. Proses ajakan ini sering terbentur pada keyakinan yang berbeda, sehingga muncul adanya konflik. Selain itu, otoritas penafsiran agama yang selama ini menjadi kewenangan para pemuka agama telah tereduksi akibat sekularisasi. Dampaknya adalah muncul apa yang dinamakan dengan relativisme agama. Dengan reletivisme ini, setiap umat berhak menafsirkan ajaran agamanya. Karenanya, saat ini banyak pemikiran keagamaan yang dianggap meresahkan umat agama yang lain. Persoalan-persoalan ini belum dapat diatasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga muncul benturan otoritas penyelesaiannya. Kasus Ahmadiyah adalah contoh yang menarik, karena terjadi penanganan hukum yang tarik ulur antara lembaga keagamaan –dalam hal ini, MUI- dan lembaga negara, yaitu kejaksaan, kepolisian, dan lain-lain.
Perlu dijelaskan bahwa pasal 156a tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP. Delik penodaan agama juga dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 yang tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu". Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima negara Pancasila. UUD 1945 pasal 29 juga menyebutkan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, kalau ada orang yang mengejek dan penodaan Tuhan yang disembah tidak dapat dibiarkan tanpa pemidanaan. Atas dasar itu, dengan milihat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai titik sentral dari kehidupan kenegaraan, maka delik Godslastering sebagai blasphemy menjadi prioritas dalam delik agama.
Konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 tersebut tidak terlepas dari fenomena sosial yang melatarbelakanginya. Pertama, undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat. Penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman cita-cita revolusi dan pembangunan nasional. Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini. Ketiga, karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah, agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan. Aturan ini juga melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius]), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa, agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.
Adanya ketidakjelasan klausul dalam delik agama di atas memberikan peluang untuk menyelesaikannya dengan pendekatan sosial-politik daripada pendekatan hukum. Dalam pendekatan sosial-politik, lembaga agama lebih dominan dari lembaga negara. Berbeda dengan lembaga negara yang legal-formal, lembaga agama lebih beragam dan bersifat non-formal. Masing-masing lembaga agama memiliki pola pemikiran yang berbeda, sehingga munculnya penghinaan agama selalu disertai dengan perseliihan antar lembaga agama. Di samping itu, hampir setiap kasus penodaan dan penyalahgunaan agama senantiasa dapat diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga agama. Apabila lembaga agama belum dapat mengatasinya, maka delik agama diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Di wilayah Kabupaten Mojokerto, banyak kasus penodaan agama yang diselesaikan di luar pengadilan. Menurut A. Fauzi, Panitera Pengadilan Negeri Mojokerto, tidak ada arsip salinan keputusan mengenai delik agama, baik delik terhadap agama maupun delik yang berhubungan dengan agama. Padahal, masyarakat Mojokerto memiliki ragam agama serta ragam sekte agama. Ragam ini dapat ditelusuri dari sejarah masyarakat Mojokerto yang merupakan pusat Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, Budha, dan Islam. Oleh karena itu, akulturasi budaya antara budaya lokal dengan ajaran agama tidak dapat dihindarkan. Agama yang dianut oleh masyarakat Mojokerto pun memiliki keunikan tersendiri dibanding agama yang dijalankan masyarakat luar Mojokerto. Dengan akulturasi ini, ajaran agama dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga sering dipandang oleh orang lain sebagai penodaan ajaran agama. Di sisi lain, gesekan konflik antar agama sering muncul, tetapi tidak pernah terpublikasikan secara meluas. Gesekan konflik tersebut disebabkan oleh sifat ekspansi agama yang memperebutkan umat agama lain. Selain itu, faktor sosial-politik juga ikut mewarnai rasa kebencian terhadap pemuka agama dengan atas nama agama. Karena adanya pertemuan rutin setiap bulan antara para pemuka agama, baik internal agama maupun eksternal agama, maka konflik dan penodaan dapat diredam sedini mungkin. Menurut KH. Dimyathi Rasyid, Ketua MUI Mojokerto, kuatnya peranan lembaga agama serta jalinan yang teguh antar pemuka agama menjadi modal kepercayaan masyarakat Mojokerto dalam menyelesaikan delik agama.
B. Rumusan Masalah
Dari keterangan di atas, ada jarak antara penyelesaian delik agama dalam KUHP dan hukum agama yang berkembang di masyarakat. Untuk itu, ada dua rumusan masalah yang diangkat dari persoalan hukum tersebut.
1. Bagaimanakah bentuk delik agama yang terjadi di masyarakat Kabupaten Mojokerto ?
2. Bagaimanakah upaya penyelesaiannya oleh lembaga agama menurut koridor UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ?
C. Tujuan Penelitian
Dari masalah di atas, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan tentang:
1. Bentuk delik agama yang terjadi di masyarakat Kabupaten Mojokerto.
2. Upaya penyelesaiannya oleh lembaga agama menurut koridor Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi positif secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam mengembangkan teori hukum tentang Delik Agama, terutama pada aspek Hukum Acaranya yang diatur tersendiri oleh PNPS Nomor 1 Tahun 1965. Secara praktis, hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan oleh para praktisi hukum, pemuka agama, pengurus lembaga keagamaan, maupun pemerintah dalam menyelesaikan sengketa agama di masyarakat.
E. Kajian Pustaka
Kajian hukum mengenai delik agama kurang mendapatkan perhatian dibanding dengan delik yang lain. Perhatian pakar hukum pada masalah delik agama selalu muncul setelah ada kasusnya. Kasus delik agama yang muncul ke publik jarang terjadi. Begitu pula, kajian hukum delik agama sangat interdisipliner. Ia tidak bisa ditelaah dengan Ilmu Hukum saja, tetapi juga harus melibatkan Sosiologi Agama maupun Studi Agama. Karenanya, studi ini mengandung kesulitan tersendiri.
Kajian-kajian hukum mengenai delik agama dapat ditelaah dengan hukum pidana dan hukum perdata. Dari sudut hukum perdata, delik agama menyangkut masalah sengketa yayasan atau sengketa aset rumah ibadah. Persengketaan ini terjadi manakala muncul perpecahan sekte keagamaan yang berdampak pada klaim aset. Salah satu studi mengenai persengketaan yayasan, termasuk aset lembaga keagamaan, adalah kajian H.P. Panggabean . Kajian delik agama terfokus pada aspek pidana dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, kajian yang mengupas batasan delik agama. Batasan ini selalu mengacu pada delik agama yang tercantum dalam KUHP. Delik ini ditafsirkan dan dianalisa, sehingga hasilnya mengarah pada salah satu dari dua pemikiran, yaitu pemikiran untuk mempertahankan dan mengembangkan delik agama atau pemikiran untuk menghapus delik agama. Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihabuddin pernah mengembangkan kajian delik agama yang tercantum di KUHP dari sudut hukum Islam . Kajian serupa juga dilakukan oleh M. Khairul Anam dengan judul “Delik Agama dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”. Begitu pula, Bonar Tigor Naipospos membahas delik pidana agama dari sudut Hak Asasi manusia . Kajian M. Subhi Azhari dan Rumadi, peneliti dari The Wahid Institute Jakarta, menengarai adanya diskriminasi pada delik pidana ; Ifdhal Kasim, Direktur Reforn Institute, juga mengusulkan untuk menghapus delik agama . Dalam tataran kasus, penelitian delik agama pernah dilakukan oleh Hendra Krisnawan dalam Tesisnya yang berjudul “Delik Agama dalam Perundang-Undangan di Indonesia : Analisa Kasus K.H. Moch. Yusman Roy”.
Kedua, kajian yang menelaah hukum acara delik agama. Dalam hal ini, kajian difokuskan pada proses penyelesaiannya. Penyelesaian delik agama tidak mudah dilakukan, karena ada pertemuan antara lembaga agama yang menafsirkan ajaran agama dan lembaga negara yang menafsirkan delik agama. Ada hubungan yang erat antara ajaran agama dan delik agama, yakni penyimpangan ajaran agama dapat dinilai sebagai penodaan agama yang merupakan bagian dari delik agama. Selain itu, memahami delik agama harus memiliki pemahaman tentang ajaran agama atau fenomena agama. Oleh karena itu, lembaga negara tidak bisa berdiri sendiri, tetapi perlu pendampingan lembaga agama. Dalam penelusuran literatur yang masih terbatas, belum ditemukan kajian hukum yang menelaah kewenangan lembaga negara dam lembaga agama dalam penyelesaian delik agama. Kajian hukum acara delik agama hanya berkutat pada aspek pemidanaan, seperti kajian Oemar Seno Adji dan Eman Suparman . Keduanya tidak menulis buku tentang pemidanaan delik agama secara khusus, tetapi hanya menyinggungnya.
Dari klasifikasi di atas, penelitian ini akan menguraikan bentuk delik agama yang terjadi di masyarakat dan proses penyelesaiannya. Penyelesaian tersebut dilaksanakan oleh lembaga keagamaan di luar pengadilan dengan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, penelitian ini termasuk wilayah kajian Sosiologi Hukum. Kajian Sosiologi Hukum mengenai delik agama belum ditemukan, terutama dengan mengambil Kabupaten Mojokerto sebagai wilayah penelitiannya.
F. Pertanggung-jawaban Sistematika
Penulisan penelitian tesis ini dibagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-bab. Dalam bab pertama, pembahasan difokuskan pada permasalahan yang dirumuskan. Dari permasalahan ini, dibahas pula keunikan dan urgensi masalah serta tujuan dari penelitian ini. Di samping itu, nilai otentisitas penelitian juga dikemukakan dalam sub-bab Kajian Pustaka.
Bab kedua merupakan kajian teoritis. Teori-teori yang ditampilkan adalah hukum agama dan delik agama. Hukum agama berusaha menguak karakteristik ajaran agama serta fenomena agama. Dengan mengetahui fenomena dan ajaran agama, pemahaman tentang delik agama dapat diperoleh dengan mudah. Teori tentang delik agama hanya dibatasi pada ruang lingkup delik agama dan hukum acaranya.
Bab ketiga merupakan metode penelitian. Pada awal bab, dikemukakan keadaan masyarakat Mojokerto yang disorot dari sudut hukum dan agama. Sorotan ini menjadi alasan penting untuk melihat keunikan Kabupaten Mojokerto, sehingga menjadi pilihan wilayah penelitian. Dari gambaran wilayah penelitian, terumuskan data penelitian serta tehnik penggalian dan analisa datanya. Dengan demikian, metode penelitian merupakan jawaban atas cara memperoleh dan menguraikan hasil penelitian. Hasil penelitian pun tidak terlepas dari masalah yang telah dirumuskan.
Bab Keempat adalah jawaban yang mendetail dari rumusan masalah yang pertama, yaitu bentuk delik agama. Pembahasannya disesuaikan dengan makna delik agama menurut Oemar Seno Adji, yaitu delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama. Banyak kasus di Kabupaten Mojokerto yang terkait dengan dua arti delik agama tersebut. Namun, hanya beberapa kasus yang mengundang perhatian publik diungkapkan dalam penelitian ini.
Bab kelima juga merupakan jawaban dari rumusan masalah yang kedua, yakni proses penyelesaian delik agama tersebut. Ia dapat diselesaikan di pengadilan maupun luar pengadilan. Dalam kasus delik agama di Kabupaten Mojokerto, semua delik agama diselesaikan di luar pengadilan. Karenanya, bab ini hanya mengemukakan cara penyelesaian delik agama oleh pemuka agama dan lembaga keagamaan, seperti amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bab kelima adalah penutup. Dalam bab ini, jawaban singkat dari rumusan masalah dikemukakan dengan sub-bab simpulan. Begitu pula, saran-saran juga dikemukakan dan disesuaikan dengan rumusan manfaat penelitian pada bab pertama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar