Rabu, 26 Agustus 2009

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan
L.J. van Apeldoorn mengemukakan empat arti tentang negara. Pertama, perkataan negara dipakai dalam arti penguasa, yakni orang atau orang-orang yang melakukan kekuasaan yang tertinggi atas persekutuan rakyat yang bertempat tinggal di suatu daerah. Kedua, negara dapat berarti pula persekutuan rakyat, yakni untuk menyatakan sesuatu bangsa yang hidup dalam suatu daerah dibawah kekuasaan yang tertinggi menurut kaedah-kaedah hukum yang sama. Ketiga, negara adalah suatu wilayah yang tertentu, yakni suatu daerah yang didiami suatu bangsa di bawah kekuasaan yang tertinggi. Keempat, negara diartikan sebagai kas negara atau fiskus, yakni harta yang dipegang oleh penguasa guna kepentingan umum. Negara merupakan sebuah konsep yang terdiri dari tiga komponen yang terpadu, yaitu wilayah, pemerintah, dan rakyat. Persoalan negara merupakan persoalan pemerintah dan rakyat yang dibatasi oleh wilayah tertentu.
Hubungan antara negara dan agama memiliki empat bentuk. Bentuk pertama adalah negara teokrasi, yaitu keterpaduan agama dan negara. Bentuk ini banyak terwujud pada masa lalu, ketika agama memiliki kekuasaan atas negara, semacam negara Islam di kawasan Semenanjung Arabia dan negara Kristen di kawasan Eropah. Suatu negara teokrasi didasarkan pada hukum agama tertentu. Hukum agama yang dimaksud termaktub dalam kitab suci agama tersebut. Hukum agama ini tidak hanya mengatur aspek ibadah ritual belaka, namun juga mengatur tata hidup berbangsa dan bernegara. Bentuk kedua adalah negara sekuler. Bentuk ini kebalikan dari bentuk yang pertama, yaitu pemisahan antara agama dan negara. Saat ini, bentuk semacam ini hampir menyeluruh di belahan dunia, terutama negara-negara maju. Agama adalah urusan pribadi warga negara, sedangkan negara bersifat publik. Negara tidak diperkenankan intervensi atas agama, begitu pula, agama tidak boleh dibawa masuk dalam urusan kenegaraan dan kemasyarakatan. Bentuk keempat adalah negara atheis, yaitu suatu negara yang tidak mengakui keberadaan agama apapun, sehingga semua warga negaranya tidak beragama. Mereka hanya percaya dengan kebenaran akal dan tidak percaya dengan kebenaran Tuhan. Negara bentuk ini hampir jarang dijumpai, meski pada negara yang menganut paham sosialis sekalipun. Bentuk keempat adalah negara teodemokrasi, meminjam konsep dari Abu Al-A’la Al-Maududi, salah satu pendiri negara Pakistan. Meski tidak sepenuhnya tepat dengan konsep al-Maududi, teodemokrasi merupakan negara yang mengakui kedaulatan Tuhan dan menjadikannya sebagai landasan idiil, tetapi implementasinya menggunakan kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Pengakuan ini menuntut perlindungan agama serta pemeluk agama. Republik Indonesia menganut bentuk yang terakhir ini.
Posisi agama dalam sistem hukum di Indonesia cukup unik. Di satu sisi, agama diakui oleh negara, di sisi yang lain agama sering menjadi pemicu konflik. Untuk itu, negara memainkan peranan penting terhadap agama. Setidaknya, ada tiga peranan negara. Pertama, negara melindungi eksistensi agama. Pengakuan negara atas agama dicantumkan dalam sila pertama dari Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai causa prima, Pancasila merupakan sumber hukum yang utama. Dari Pancasila, konstitusi atau Undang-undang dasar 1945 mengemukakan pasal-pasal tersendiri yang mengatur keberadaan agama, seperti pasal 29 (1) "Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 
Kedua, negara memberikan kebebasan kepada para pemeluknya untuk menjalankan ajaran agamanya. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Pasal 29 (2) juga menyatakan "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaanya itu."
Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memberikan landasan normatif bahwa agama dan keyakinan merupakan hak dasar yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam pasal 22 ditegaskan: 1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; 2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Dalam pasal 8 juga ditegaskan bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. 
Tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan juga menjadi tuntutan international sebagaimana tertuang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICPPR). Indonesia sudah meratifikasi tentang ICCPR melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Dengan ratifikasi itu, maka Indonesia menjadi Negara Pihak (State Parties) yang terikat dengan isi ICCPR. Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27).
ICCPR pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif Negara. Makanya, hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak negatif (negative rights). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi. Apabila negara terlalu intervensi, hak-hak dan kebebasan yang diatur di dalamnya akan dilanggar oleh negara. Negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersebut akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).
Ketiga, negara melakukan intervensi dalam menyelesaikan delik agama. Hal ini telah diatur dalam pasal 156 dan 156a KUHP. Dalam pasal 156 disebutkan: Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara. Sementara itu, pasal 156a yang merupakan tambahan dari Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1965 berbunyi: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dalam KUHP (WvS) sebenarnya tidak ada bab khusus mengenai delik agama, meski ada beberapa delik yang sebenarnya dapat dikategorikan sebagai delik agama. Istilah delik agama itu sendiri sebenarnya mengandung beberapa pengertian: a) delik menurut agama; b) delik terhadap agama; c) delik yang berhubungan dengan agama. Prof. Oemar Seno Adji seperti dikutip Barda Nawawi Arief menyebutkan bahwa delik agama hanya mencakup delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama. Sedangkan pasal 156a yang sering disebut dengan pasal penodaan agama bisa dikategorikan sebagai delik terhadap agama. Sedang delik yang berhubungan dengan agama tersebar dalam beberapa perbuatan seperti merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 175); mengganggu pertemuan /upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 176); menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diizinkan dan sebagainya.
Dari ketiga peranan di atas, penelitian ini terfokus pada peranan negara dalam intervensi agama. Intervensi ini perlu dilakukan untuk menjaga kerukunan hidup umat beragama. Agama, menurut pasal di atas, perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci, dan sebagainya. Meski demikian, karena agama “tidak bisa bicara”, maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama. Meski ada jaminan perlindungan dan kebebasan beragama, namun konflik dan sengketa antara umat beragama tidak bisa dihindari. Sejatinya, dalam agama, terutama agama dakwah, memuat unsur yang mempengaruhi orang lain. Setiap ajarannya mengandung muatan untuk dilaksanakan secara pribadi sekaligus mengajak orang lain untuk mengikutinya. Proses ajakan ini sering terbentur pada keyakinan yang berbeda, sehingga muncul adanya konflik. Selain itu, otoritas penafsiran agama yang selama ini menjadi kewenangan para pemuka agama telah tereduksi akibat sekularisasi. Dampaknya adalah muncul apa yang dinamakan dengan relativisme agama. Dengan reletivisme ini, setiap umat berhak menafsirkan ajaran agamanya. Karenanya, saat ini banyak pemikiran keagamaan yang dianggap meresahkan umat agama yang lain. Persoalan-persoalan ini belum dapat diatasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga muncul benturan otoritas penyelesaiannya. Kasus Ahmadiyah adalah contoh yang menarik, karena terjadi penanganan hukum yang tarik ulur antara lembaga keagamaan –dalam hal ini, MUI- dan lembaga negara, yaitu kejaksaan, kepolisian, dan lain-lain.
Perlu dijelaskan bahwa pasal 156a tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP. Delik penodaan agama juga dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 yang tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang utama di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu". Dasar yang digunakan untuk memasukkan delik agama dalam KUHP adalah sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima negara Pancasila. UUD 1945 pasal 29 juga menyebutkan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena itu, kalau ada orang yang mengejek dan penodaan Tuhan yang disembah tidak dapat dibiarkan tanpa pemidanaan. Atas dasar itu, dengan milihat Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai titik sentral dari kehidupan kenegaraan, maka delik Godslastering sebagai blasphemy menjadi prioritas dalam delik agama.  
Konsideran dalam UU No. 1/PNPS/1965 tersebut tidak terlepas dari fenomena sosial yang melatarbelakanginya. Pertama, undang-undang ini dibuat untuk mengamankan Negara dan masyarakat. Penyalahgunaan atau penodaan agama dipandang sebagai ancaman cita-cita revolusi dan pembangunan nasional. Kedua, timbulnya berbagai aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang dianggap bertentangan dengan ajaran dan hukum agama. Aliran-aliran tersebut dipandang telah melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama, sehingga perlu kewaspadaan nasional dengan mengeluarkan undang-undang ini. Ketiga, karena itu, aturan ini dimaksudkan untuk mencegah, agar jangan sampai terjadi penyelewengan ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para ulama dari agama yang bersangkutan. Aturan ini juga melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, seraya menyebut enam agama yang diakui pemerintah (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu [Confusius]), undang-undang ini berupaya sedemikian rupa, agar aliran-aliran keagamaan di luar enam agama tersebut dibatasi kehadirannya.
Adanya ketidakjelasan klausul dalam delik agama di atas memberikan peluang untuk menyelesaikannya dengan pendekatan sosial-politik daripada pendekatan hukum. Dalam pendekatan sosial-politik, lembaga agama lebih dominan dari lembaga negara. Berbeda dengan lembaga negara yang legal-formal, lembaga agama lebih beragam dan bersifat non-formal. Masing-masing lembaga agama memiliki pola pemikiran yang berbeda, sehingga munculnya penghinaan agama selalu disertai dengan perseliihan antar lembaga agama. Di samping itu, hampir setiap kasus penodaan dan penyalahgunaan agama senantiasa dapat diselesaikan di luar pengadilan melalui lembaga agama. Apabila lembaga agama belum dapat mengatasinya, maka delik agama diselesaikan melalui jalur pengadilan.
Di wilayah Kabupaten Mojokerto, banyak kasus penodaan agama yang diselesaikan di luar pengadilan. Menurut A. Fauzi, Panitera Pengadilan Negeri Mojokerto, tidak ada arsip salinan keputusan mengenai delik agama, baik delik terhadap agama maupun delik yang berhubungan dengan agama. Padahal, masyarakat Mojokerto memiliki ragam agama serta ragam sekte agama. Ragam ini dapat ditelusuri dari sejarah masyarakat Mojokerto yang merupakan pusat Kerajaan Majapahit yang beragama Hindu, Budha, dan Islam. Oleh karena itu, akulturasi budaya antara budaya lokal dengan ajaran agama tidak dapat dihindarkan. Agama yang dianut oleh masyarakat Mojokerto pun memiliki keunikan tersendiri dibanding agama yang dijalankan masyarakat luar Mojokerto. Dengan akulturasi ini, ajaran agama dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga sering dipandang oleh orang lain sebagai penodaan ajaran agama. Di sisi lain, gesekan konflik antar agama sering muncul, tetapi tidak pernah terpublikasikan secara meluas. Gesekan konflik tersebut disebabkan oleh sifat ekspansi agama yang memperebutkan umat agama lain. Selain itu, faktor sosial-politik juga ikut mewarnai rasa kebencian terhadap pemuka agama dengan atas nama agama. Karena adanya pertemuan rutin setiap bulan antara para pemuka agama, baik internal agama maupun eksternal agama, maka konflik dan penodaan dapat diredam sedini mungkin. Menurut KH. Dimyathi Rasyid, Ketua MUI Mojokerto, kuatnya peranan lembaga agama serta jalinan yang teguh antar pemuka agama menjadi modal kepercayaan masyarakat Mojokerto dalam menyelesaikan delik agama. 
 
B. Rumusan Masalah
Dari keterangan di atas, ada jarak antara penyelesaian delik agama dalam KUHP dan hukum agama yang berkembang di masyarakat. Untuk itu, ada dua rumusan masalah yang diangkat dari persoalan hukum tersebut.
1. Bagaimanakah bentuk delik agama yang terjadi di masyarakat Kabupaten Mojokerto ?
2. Bagaimanakah upaya penyelesaiannya oleh lembaga agama menurut koridor UU Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ?

C. Tujuan Penelitian
Dari masalah di atas, penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan tentang:
1. Bentuk delik agama yang terjadi di masyarakat Kabupaten Mojokerto.
2. Upaya penyelesaiannya oleh lembaga agama menurut koridor Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi positif secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam mengembangkan teori hukum tentang Delik Agama, terutama pada aspek Hukum Acaranya yang diatur tersendiri oleh PNPS Nomor 1 Tahun 1965. Secara praktis, hasil penelitian ini juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan oleh para praktisi hukum, pemuka agama, pengurus lembaga keagamaan, maupun pemerintah dalam menyelesaikan sengketa agama di masyarakat.

E. Kajian Pustaka
Kajian hukum mengenai delik agama kurang mendapatkan perhatian dibanding dengan delik yang lain. Perhatian pakar hukum pada masalah delik agama selalu muncul setelah ada kasusnya. Kasus delik agama yang muncul ke publik jarang terjadi. Begitu pula, kajian hukum delik agama sangat interdisipliner. Ia tidak bisa ditelaah dengan Ilmu Hukum saja, tetapi juga harus melibatkan Sosiologi Agama maupun Studi Agama. Karenanya, studi ini mengandung kesulitan tersendiri. 
Kajian-kajian hukum mengenai delik agama dapat ditelaah dengan hukum pidana dan hukum perdata. Dari sudut hukum perdata, delik agama menyangkut masalah sengketa yayasan atau sengketa aset rumah ibadah. Persengketaan ini terjadi manakala muncul perpecahan sekte keagamaan yang berdampak pada klaim aset. Salah satu studi mengenai persengketaan yayasan, termasuk aset lembaga keagamaan, adalah kajian H.P. Panggabean . Kajian delik agama terfokus pada aspek pidana dapat dipilah menjadi dua kelompok. Pertama, kajian yang mengupas batasan delik agama. Batasan ini selalu mengacu pada delik agama yang tercantum dalam KUHP. Delik ini ditafsirkan dan dianalisa, sehingga hasilnya mengarah pada salah satu dari dua pemikiran, yaitu pemikiran untuk mempertahankan dan mengembangkan delik agama atau pemikiran untuk menghapus delik agama. Juhaya S. Praja dan Ahmad Syihabuddin pernah mengembangkan kajian delik agama yang tercantum di KUHP dari sudut hukum Islam . Kajian serupa juga dilakukan oleh M. Khairul Anam dengan judul “Delik Agama dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam”. Begitu pula, Bonar Tigor Naipospos membahas delik pidana agama dari sudut Hak Asasi manusia . Kajian M. Subhi Azhari dan Rumadi, peneliti dari The Wahid Institute Jakarta, menengarai adanya diskriminasi pada delik pidana ; Ifdhal Kasim, Direktur Reforn Institute, juga mengusulkan untuk menghapus delik agama . Dalam tataran kasus, penelitian delik agama pernah dilakukan oleh Hendra Krisnawan dalam Tesisnya yang berjudul “Delik Agama dalam Perundang-Undangan di Indonesia : Analisa Kasus K.H. Moch. Yusman Roy”. 
Kedua, kajian yang menelaah hukum acara delik agama. Dalam hal ini, kajian difokuskan pada proses penyelesaiannya. Penyelesaian delik agama tidak mudah dilakukan, karena ada pertemuan antara lembaga agama yang menafsirkan ajaran agama dan lembaga negara yang menafsirkan delik agama. Ada hubungan yang erat antara ajaran agama dan delik agama, yakni penyimpangan ajaran agama dapat dinilai sebagai penodaan agama yang merupakan bagian dari delik agama. Selain itu, memahami delik agama harus memiliki pemahaman tentang ajaran agama atau fenomena agama. Oleh karena itu, lembaga negara tidak bisa berdiri sendiri, tetapi perlu pendampingan lembaga agama. Dalam penelusuran literatur yang masih terbatas, belum ditemukan kajian hukum yang menelaah kewenangan lembaga negara dam lembaga agama dalam penyelesaian delik agama. Kajian hukum acara delik agama hanya berkutat pada aspek pemidanaan, seperti kajian Oemar Seno Adji dan Eman Suparman . Keduanya tidak menulis buku tentang pemidanaan delik agama secara khusus, tetapi hanya menyinggungnya. 
Dari klasifikasi di atas, penelitian ini akan menguraikan bentuk delik agama yang terjadi di masyarakat dan proses penyelesaiannya. Penyelesaian tersebut dilaksanakan oleh lembaga keagamaan di luar pengadilan dengan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, penelitian ini termasuk wilayah kajian Sosiologi Hukum. Kajian Sosiologi Hukum mengenai delik agama belum ditemukan, terutama dengan mengambil Kabupaten Mojokerto sebagai wilayah penelitiannya.

F. Pertanggung-jawaban Sistematika
Penulisan penelitian tesis ini dibagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri dari beberapa sub-bab. Dalam bab pertama, pembahasan difokuskan pada permasalahan yang dirumuskan. Dari permasalahan ini, dibahas pula keunikan dan urgensi masalah serta tujuan dari penelitian ini. Di samping itu, nilai otentisitas penelitian juga dikemukakan dalam sub-bab Kajian Pustaka.
Bab kedua merupakan kajian teoritis. Teori-teori yang ditampilkan adalah hukum agama dan delik agama. Hukum agama berusaha menguak karakteristik ajaran agama serta fenomena agama. Dengan mengetahui fenomena dan ajaran agama, pemahaman tentang delik agama dapat diperoleh dengan mudah. Teori tentang delik agama hanya dibatasi pada ruang lingkup delik agama dan hukum acaranya.
Bab ketiga merupakan metode penelitian. Pada awal bab, dikemukakan keadaan masyarakat Mojokerto yang disorot dari sudut hukum dan agama. Sorotan ini menjadi alasan penting untuk melihat keunikan Kabupaten Mojokerto, sehingga menjadi pilihan wilayah penelitian. Dari gambaran wilayah penelitian, terumuskan data penelitian serta tehnik penggalian dan analisa datanya. Dengan demikian, metode penelitian merupakan jawaban atas cara memperoleh dan menguraikan hasil penelitian. Hasil penelitian pun tidak terlepas dari masalah yang telah dirumuskan.
Bab Keempat adalah jawaban yang mendetail dari rumusan masalah yang pertama, yaitu bentuk delik agama. Pembahasannya disesuaikan dengan makna delik agama menurut Oemar Seno Adji, yaitu delik terhadap agama dan delik yang berhubungan dengan agama. Banyak kasus di Kabupaten Mojokerto yang terkait dengan dua arti delik agama tersebut. Namun, hanya beberapa kasus yang mengundang perhatian publik diungkapkan dalam penelitian ini.
Bab kelima juga merupakan jawaban dari rumusan masalah yang kedua, yakni proses penyelesaian delik agama tersebut. Ia dapat diselesaikan di pengadilan maupun luar pengadilan. Dalam kasus delik agama di Kabupaten Mojokerto, semua delik agama diselesaikan di luar pengadilan. Karenanya, bab ini hanya mengemukakan cara penyelesaian delik agama oleh pemuka agama dan lembaga keagamaan, seperti amanat peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bab kelima adalah penutup. Dalam bab ini, jawaban singkat dari rumusan masalah dikemukakan dengan sub-bab simpulan. Begitu pula, saran-saran juga dikemukakan dan disesuaikan dengan rumusan manfaat penelitian pada bab pertama. 


BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Hukum Agama dan Implikasinya Terhadap Hukum Positif
Agama sulit didefinisikan. Ia tidak tampak, tetapi diyakini oleh pemeluknya. Ia juga memberi pengaruh yang besar terhadap perubahan sosial, bahkan peradaban dunia. Karena itu, kajian agama diminati banyak orang. Kajian ini dapat dilihat dari berbagai sudut pandang keilmuan. Sudut pandang ini mempengaruhi definisi tentang agama. Agama perspektif Sosiologi berbeda pengertiannya dengan agama menurut pakar hukum. Tidak hanya itu, pandangan pemeluk agama tentang sebuah agama berbeda dengan pandangan pemeluk agama yang lain. Umat Islam berbeda dengan umat Kristen dalam memberi pengertian tentang agama. Lebih khusus lagi, sesama pemeluk satu agama juga memiliki pandangan yang berbeda. Perbedaan ini bisa disebabkan oleh pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman keberagamaan masing-masing pemeluk agama. Kesulitan mendefinisikan agama di atas lebih disebabkan munculnya etnosentrisme.
Kesulitan yang lain adalah kompleksitas agama. Agama tidak hanya berhubungan dengan pemikiran, melainkan juga terkait dengan pengalaman dan pengamalan. Ada ajaran yang mengatur hubungan antara sesama manusia, antara sesama alam, dan antara makhluk dengan Penciptanya. Dalam kitab-kitab suci, terdapat penjelasan mengenai keadaan umat terdahulu, keadaan umat sekarang, dan prediksi keadaan umat yang akan datang. Setiap agama mengajarkan kewajiban dan larangan. Ajaran ini harus dilaksanakan oleh anggota tubuh dan juga batin manusia. Agama mempercayai jiwa dan raga manusia. Hampir semua bidang kehidupan manusia telah diatur oleh agama: mulai persoalan individu hingga permasalahan masyarakat yang paling luas. Agama juga membahas alam fisika dan alam metafisika, natural dan supranatural, atau (dalam agama Islam) alam ghaib (tersembunyi) dan alam syahadah (tampak). Begitu kompleksnya sebuah agama, definisi agama sulit mencakup keseluruhan elemennya. Definisi agama yang ada selama ini hanya mencakup satu sisi, sedangkan sisi lain tidak termuat.
Di dunia ini, terdapat bermacam-macam agama. Masing-masing agama memiliki dasar, pedoman, dan elemen yang berbeda. Di Indonesia agama-agama yang semula diakui keberadaannya sebanyak lima macam. Jumlah ini bisa berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, seperti pengakuan Tionghoa sebagai agama. Dalam setiap agama, perkembangan sekte keagamaan atau aliran agama tidak bisa terelakkan. Dalam satu sekte pun, ada varian pola pemikiran dan cara peribadatan. Ragam ini banyak dipengaruhi olah para tokoh agama yang memiliki kapasitas berbeda satu sama lain, tetapi dengan otoritas yang sama, yakni sebagai penafsir ajaran agama. Dari keragaman agama ini, agama menjadi sulit untuk didefinisikan. Kesulitan definisi ini berdampak pada pemahaman delik agama: ketika agama diatur oleh negara.
Karena sulitnya mendefinisikan agama, Jalaluddin Rakhmat membuat klasifikasi pengertian agama dalam empat kelompok dari dua sudut pandang. Pertama, sudut pandang pengalaman keagamaan membagi agama menjadi dua macam, yaitu agama personal dan agama sosial. Agama personal terkait dengan iman pribadi individu, sedangkan agama sosial berhubungan dengan kegiatan kelompok sosial keagamaan. Kedua, sudut pandang masalah kehidupan mengelompokkan agama menjadi dua bagian, yaitu substansi agama dan fungsional agama. Substansi agama memandang kehidupan dari doktrin dan keimanan, sementara fungsional agama melihat kehidupan dari peranan agama. Dengan demikian, terdapat empat tipologi agama.
1. Agama personal-substansial. Kepercayaan individu yang khusus dan kesadaran personal akan adanya yang sakral, transenden, dan ilahi.
2. Agama sosial-substansial. Perumusan ajaran agama yang resmi. Konsensus kelompok tentang kepercayaan dan praktek. Sikap di hadapan pablik yang diambil gereja, sinagog, madzhab, atau sekte.
3. Agama personal-fungsional. Apa saja yang memenuhi tujuan keagamaan individu, seperti: memberikan makna, mengurangi rasa bersalah, menambah rasa bersalah, memberikan bimbingan moral, membantu menghadapi maut, dan sebegainya.
4. Agama sosial-fungsional. Apa saja yang menjalankan fungsi agama di masyarakat. Berjalannya proses kelompok dalam kelompok agama.
Institusi agama merupakan sarana dari fungsionalisasi ajaran agama. Organisasi keagamaan dan rumah ibadah adalah salah satu bentuk institusi agama. Untuk menjalankan agama, diperlukan norma-norma yang digali dari kitab suci. Norma-norma ini dipatuhi oleh suatu komunitas dari rumah ibadah atau organisasi keagamaan. Karena ajaran agama sarat interpretasi, maka setiap rumah ibadah atau organisasi keagamaan memiliki pemahaman agama tersendiri. Setiap institusi agama memberikan otoritas kepada pemuka agama untuk memimpin pengamalan agama. Pemegang otoritas keagamaan mendapatkan status yang tinggi di masyarakat agamis. Oleh karena itu, kedudukan ini sering diperebutkan oleh banyak pihak dengan menggunakan cara-cara politik tertentu. Dalam hal ini, pemikiran politik dijadikan alat untuk meraih kekuasaan di institusi agama. 
Masuknya ideologi politik dalam institusi agama merupakan keniscayaan. Jika tidak diatur dengan baik, ia akan menjadi pemicu pertikaian sesama pemuka agama. Umumnya, konflik antar pemuka agama berasal dari perebutan pengaruh dalam institusi agama. Institusi agama kurang menjanjikan secara ekonomis, tetapi ia memberikan kedudukan sosial yang strategis. Bukan tidak mungkin, kedudukan strategis ini akan mendatangkan nilai ekonomis tersendiri. Selain itu, corak keagamaan pribadi seseorang juga ikut mewarnai perjalanan institusi agama selanjutnya. Misalnya, ada kyai yang tidak terima jika NU dipimpin oleh orang yang liberal, atau Muhammadiyah dibelokkan untuk politik oleh ketuanya yang pakar politik.

Secara substansial, tidak ada kesepakatan dalam memahami agama. kecuali pada keimanan agama yang pokok. Perbedaan pendapat di kalangan pemuka agama tidak dapat terhindarkan dan menghasilkan ragam pemikiran. Pemikiran dalam masalah hukum disebut madzhab, sementara pemikiran yang berkenaan dengan teologis dinamakan aliran. Perbedaan aliran lebih mudah rentan pertikaian daripada perbedaan madzhab. Masalah teologis merupakan hal yang sangat prinsip dalam agama dan gerakan agama. Teologi agama menyangkut bahasan keimanan pokok, sedangkan teologi gerakan agama terkait dengan strategi dakwah. Sebagai contoh, semua ulama sepakat tentang kenabian Muhammad SAW dan tidak mengakui aliran apapun yang membuat nabi baru. Akan tetapi, mengenai sikap terhadap aliran ini, mereka berbeda pandangan: ada yang tegas dan ada yang moderat. Perbedaan pandangan ini lebih banyak dipengaruhi teologi gerakan mereka. 
Perbedaan madzhab akan menjurus pada pertikaian, jika dipengaruhi secara kental oleh perbedaan teologi gerakan agama. Perlakuan terhadap orang non-muslim masih diperdebatkan menurut hukum Islam, namun ada aliran yang secara tegas memusuhi orang non-muslim dan orang muslim yang bergaul dengannya. Demikian pula, ada masyarakat yang menuntut diberlakukannya hukum syariat di daerahnya, namun ada masyarakat yang tidak memusingkan hal itu. Ketika perbedaan madzhab bebas dari teologi gerakan agama, maka muncul kekayaan khazanah keilmuan keagamaan. Para pemuka agama dapat bebas mengembangkan intelektualitasnya manakala tidak ada golongan yang mengancam pemikirannya. Dari sini, dialog antar agama dapat terwujud.
Pemuka agama yang kurang pengetahuan dan wawasan keagamaannya selalu menghindari dialog dan debat, bahkan mempengaruhi pengikutnya agar mengikuti pendapatnya meskipun tanpa dalil dan alasan yang kuat. Pemuka agama model ini semakin berkembang pesat. Media yang mengemukakan perdebatan dan dialog keilmuan keagamaan hampir sulit ditemukan di tengah masyarakat, kecuali pada lingkungan akademik. Sementara itu, penyelenggaraan ritual kolektif semakin semarak. Secara sosiologis, kegiatan seperti itu semakin memperkukuh kharisma pemimpin agama, bukan ilmu agama. Dengan kultus individu, para pemeluk agama mencari kebenaran melalui pemimpinnya sebagai belajar agama secara instan, tidak melalui beberapa buku yang menjadi proses belajar agama. Ambil contoh, dalam sengketa pendirian masjid, masing-masing masyarakat mengajukan pertanyaan kepada kyai. Tentu saja mereka memilih kyai yang dapat menyetujui keinginan mereka. Ternyata, mereka tidak menilai dalil dan argumentasi yang diajukan masing-masing kyai, tetapi kyai yang memiliki pengaruh lebih luas dianggap ‘lebih benar’ dari kyai yang kurang kharismatik.
Pemuka yang mengandalkan pengikut kurang direspons orang-orang modern. Kebebasan berfikir dan berpendapat yang digulirkan oleh kelompok prodemokrasi telah mempengaruhi tradisi perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam agama. Ada sisi positifnya, yakni masing-masing individu terdorong untuk berfikir dan berpendapat tentang agama. Konsekuensi kebebasan pemikiran adalah keharusan menghargai apapun bentuk praktek keagamaan seseorang, walaupun secara umum dianggap sesat. Dampak negatif dari kerangka berfikir ini adalah munculnya relativisme agama, yaitu anggapan bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak dalam agama: tidak ada dominasi gereja, otoritas pemuka agama, dan siapapun boleh berpendapat tentang agama. Agama dapat ditafsirkan dengan hawa nafsu, padahal terdapat norma-norma yang harus dipatuhi dalam berpendapat tentang agama. Begitu pula, ada beberapa cabang ilmu agama yang harus dikuasai oleh orang yang berpendapat tentang agama. Dewasa ini, mencari pemuka agama yang cendekiawan dan kharismatis sangat sulit, sementara akumulasi masalah umat jauh lebih banyak dan lebih kompleks. Setiap masalah tidak hanya diukur dengan ilmu-ilmu agama, namun perlu dipertimbangkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Sangat sulit –jika tidak dikatakan mustahil- menemukan pemuka agama yang menguasai segala disiplin ilmu. Oleh karena itu, pemikiran secara kolektif menjadi solusi tradisi perbedaan pendapat (ikhtilaf). 
Dari tipologi di atas, agama tidak saja menjadi masalah individu (private religion), tetapi juga bisa berkembang menjadi masalah sosial (public religion). Ada tiga teori yang berkembang mengenai hal ini. Teori pertama adalah sekuler (secular) atau teori agama privat (privat religion), yaitu pemikiran yang mengajukan proposisi bahwa antara agama dan persoalan kemasyarakatan memiliki wilayah yang berbeda. Agama mengurusi masalah ibadah ritual, sedangkan negara menangani persoalan sosial. Agama terkait dengan individu, sementara negara berhubungan dengan publik. Teori yang kedua adalah teokratis (non-secular) atau agama publik (public religion) yang beranggapan bahwa antara agama dan persoalan kemasyarakatan merupakan keterpaduan (integralistik). Agama diyakini dapat memberikan solusi atas semua persoalan kemasyarakatan, karena agama memiliki sistem tersendiri mengenai hal ini. Dalam hal ini, agama mengambil bentuk sebagai institusi formal, termasuk negara yang berkedaulatan Tuhan. Teori yang ketiga merupakan keseimbangan kedua teori di atas yang terkenal dengan nama agama sipil (civil religion). Dalam teori ini, agama diperankan sebagai inspirator atas permasalahan kemasyarakatan. Nilai-nilai agama menjadi dasar dalam mengembangkan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Agama tidak dibentuk secara formalistik, melainkan substantif. Dengan pola ini, agama dapat masuk ke ruang publik dan melakukan perubahan sosial secara kultural. Jose Cassanova, dalam kutipan Bachtiar Effendy, menyebutnya deprivatisasi agama. Agama dengan nilai-nilai yang dikandungnya memberikan solusi atas permasalahan sosial yang umumnya juga melibatkan agama. Agama dapat berperan pada perubahan sosial: ia bisa menjadi pemicu kekerasan dan peperangan sekaligus perekat perdamaian; ia dapat merubah kultur maupun struktur masyarakat; ia juga bisa menjadi sumber tipologi masyarakat: tradisional-modern, santri-priyayi-abangan, dan sebagainya. Dari segi Ilmu Hukum, agama bisa menjadi inspirator konstitusi sekaligus materi hukum. Rumusan Undang-undang Dasar 1945 terinspirasi dari Pancasila dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Dalam keduanya, terdapat klausul Ketuhanan Yang Maha Esa. Begitu pula, agama juga diatur oleh UUD 1945 dalam pasal 29 serta diatur oleh KUHP pasal 156.
Olaf Schumann, Guru Besar Islamologi Universitas Hamburg Jerman, menyatakan bahwa, oleh karena rakyat menjadi pemeluk pelbagai agama, maka dasar ideologi dan paham pokok mengenai negara mereka tidak dapat berakar dalam satu agama saja. Untuk itu, Pancasila merupakan agama sipil (civil religion), yaitu pegangan makna dan orientasi bagi kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang bersumber pada sesuatu yang diakui bersama, namun tidak bisa dilembagakan. Dengan pemahaman ini, kata “Ketuhanan” lebih tepat dibanding kata “Tuhan” yang cenderung diklaim oleh agama tertentu. “Ketuhanan” dapat mewadahi agama apapun, meski sulit didefinisikan.
Selain sulit membuat definisi agama, ajaran agama juga sulit dinyatakan dan dirumuskan. Meskipun ajaran agama ditulis sebagai teks suci, namun penafsiran teks terus terbuka. Keterbukaan penafsiran ini memunculkan ragam penafsiran. Sebuah penafsiran tidak hanya bergantung pada teks semata, tetapi juga pada konteksnya. Teks bersifat tetap (statis), sementara konteks pasti berubah (dinamis). Teks tetap disucikan (sakral), tetapi tafsir dapat digugat (profan). Gugatan agama mengemuka karena tidak adanya solusi dari agama atas perubahan sosial yang demikian cepat. Penafsiran teks suci –menurut penggugatnya- masih dipengaruhi oleh situasi dan lingkungan penafsir. Karenanya, perlu diadakan penafsiran ulang. Namun demikian, tidak semua pemeluk agama mendukung pembaharuan agama. Ada di antara mereka yang tetap mempertahankan penafsiran yang ‘benar’. Mereka menjadikan penafsiran itu sebagai “mainstream”, sehingga umat yang berbeda pemikirannya –apalagi pengamalannya- dapat dituduh sebagai penoda agama. Dalam hal ini, delik agama dapat dimanfaatkan untuk menghambat kreativitas dalam beragama.
Meskipun sulit diartikan, semua orang sepakat bahwa setiap agama pasti menyuarakan kebenaran dan mengecam kejahatan. Agama menjanjikan pahala bagi pembela kebenaran dan mengancam siksa bagi pelaku kejahatan. Pahala dan siksa ini bersifat eskatologis, yakni diwujudkan di luar alam realitas. Sanksi agama ini dapat efektif bila disertai dengan keimanan. Karena masing-masing agama mengklaim membawa misi kebenaran, maka tidak jarang terjadi konflik antara pemeluk agama. Konflik ini ada dua bentuk, yaitu konflik eksternal antara umat beragama dan konflik internal sesama umat satu agama. Konflik ini semakin serius manakala masing-masing pihak meyakini kebenarannya sebagai dakwah. Agama dakwah menuntut umatnya untuk menyakini kebenarannya serta menyampaikan dan mengajak orang lain untuk mengikuti kebenaran tersebut. Hampir dalam setiap ajaran agama ada misi dakwahnya dan memberikan penghargaan (pahala) kepada mereka yang berdakwah. Dakwah adalah gerakan keagamaan. Agama harus digerakkan, karena memuat kebenaran. Untuk membuktikan kebenaran keyakinannya, umat beragama tidak jarang menyalahkan ajaran yang lain. Tentu saja umat yang ajarannya disalahkan tidak menerima dan berbalik menyerang ajaran pihak yang menyalahkan. Hubungan semacam ini bisa mengganggu ketentraman masyarakat, sehingga pengaturan kehidupan beragama masih diperlukan.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur hubungan antar umat beragama tidak bisa lepas dari hukum agama. Maksud hukum agama di sini adalah keputusan hukum yang berasal dari interpretasi teks suci oleh pemuka agama. Hukum agama merupakan salah satu sumber pembentukan hukum positif, sedangkan hukum positif melindungi eksistensi hukum agama. Hukum agama - melalui politik hukum- dapat saja menjadi hukum positif jika telah diterima oleh warganegara melalui perwakilannya. Dalam konteks negara kebangsaan, hukum agama, termasuk yang dianut oleh mayoritas sekalipun, baru merupakan bahan mentah (row material) seperti halnya hukum adat (adat manapun) atau hukum hukum yang dicomot dari bangsa lain. Untuk bisa menjadi bagian dari hukum publik, maka hukum-hukum tersbut harus memenuhi dua syarat. Pertama, syarat substansial. Isi hukum harus beroreintasi pada kepentingan publik, bukan hanya kepentingan kelompok tertentu. Kedua, syarat prosedural. Artinya, hukum itu dapat meyakinkan nalar publik untuk diterima melalui prosedur penetapan hukum secara demokratis yang juga disepakati oleh publik. Hukum apapun yang memenuhi kedua syarat ini berhak mengisi bangunan hukum positif dan perundang-undangan suatau negara. Tidak terkecuali hukum yang berbasis agama. Ada dua macam hukum agama, yaitu hukum yang diproduksi oleh lembaga agama dan hukum yang menjadi pendapat seorang tokoh agama. Hukum yang pertama lebih kuat dari yang kedua, karena dirumuskan secara kolektif. Meskipun hukum agama yang dirumuskan secara kolektif memiliki kekuatan moral, namun ia tidak bisa mengikat warga negara secara kuat sebagaimana hukum positif. Dalam negara sekuler, hukum agama tidak dikenal dan tidak berperan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama merupakan sesuatu yang privat: dikembalikan kepada masing-masing individu. Akan tetapi, Republik Indonesia bukan negara sekuler dan bukan pula negara agama, melainkan negara yang mengakui kedaulatan Tuhan. Kedaulatan Tuhan ini menjadi “causa prima” yang termaktub dalam sila pertama dari Pancasila: “Ketuhanan Yang maha Esa”. Dari kedaulatan Tuhan ini terwujud kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum. Ketiga bentuk kekuasaan ini diterapkan oleh bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hukum agama menjadi landasan moral bagi hukum positif. Secara lebih jelas, Jimly Asshiddiqie menyatakan,
“Menurut pendapat saya, ketiga-tiga ajaran Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Hukum, dan Kedaulatan Rakyat itu berlaku secara simultan dalam pemikiran bangsa kita tentang kekuasaan. Kekuasaan kenegaraan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pokoknya adalah derivat dari kesadaran kolektif kita mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan akan kemahakuasaan Tuhan itu diwujudkan dalam paham kedaulatan hukum dan sekaligus dalam kedaulatan rakyat yang kita terima sebagai dasar-dasar berpikir sistemik dalam kontruksi UUD negara kita. Prinsip kedaulatan hukum kita wujudkan dalam gagasan ‘rechstaat’ atau ‘the rule of law’ serta prinsip supremasi hukum yang selalu kita dengung-dengungkan setiap waktu. Namun dalam perwujudannya, perumusan hukum yang dijadikan pegangan tertinggi itu haruslah disusun sedemikian rupa melalui mekanisme demokrasi yang lazim sesuai dengan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. 

Antara hukum agama dan hukum positif memiliki wilayah yang berbeda. Hukum agama tidak bisa mengintervensi wilayah hukum positif. Para ulama tidak bisa memaksakan fatwanya untuk menggantikan peraturan perundang-undangan. Namun demikian, fatwa, ceramah, atau khotbah pemuka agama berimplikasi pada ketaatan umat. Dalam agama, umat diwajibkan menaati pemuka agamanya. Ketaatan ini dapat menimbulkan dilema manakala umat dihadapkan pada dua perintah yang berlawanan, yakni perintah agama (melalui pendapat pemuka agama) dan perintah negara (melalui peraturan perundang-undangan). Fatwa haram mengenai kelompok tertentu tidak hanya menuntut umat untuk menjauhinya (seringkali disertai dengan caci-maki dan penghinaan), melainkan pula tuntutan untuk menghalangi dan membasminya. Tuntutan yang terakhir ini dapat mendorong umat untuk melanggar hukum. Sebagai antisipasinya, pemuka agama dan pemerintah berdialog untuk memutuskan penyelesaiannya secara tepat dan bijak. Dalam hal ini, hukum agama dapat mempengaruhi proses pengadilan mengenai delik agama. Demikian pula, hukum positif tidak diperkenankan memasuki wilayah agama, terutama pada aspek ritual. Wilayah agama yang dimungkinkan dapat diatur dengan hukum positif adalah bidang yang terkait dengan hubungan antara sesama manusia: aspek sosial. Dalam hal ini, Undang-undang nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan adalah beberapa contohnya. Departemen Agama pun tidak berwenang mencampuri urusan ritual agama, perkembangan sekte agama, atau pemikiran agama, kecuali hal itu menimbulkan keresahan bagi umat beragama. Secara umum, negara tidak bisa intervensi masalah agama yang privat. Sebaliknya, hukum agama tidak bisa dijadikan dasar mengatur negara.
Hukum positif menjadi masalah manakala memasuki interpretasi ajaran agama. Walaupun pemuka agama dihadirkan oleh hakim sebagai saksi ahli, kecenderungan pemikiran pemuka agama tersebut tetap menjadi pertanyaan. Seseorang dapat saja diadukan oleh pemuka agama sebagai penodaan agama, tetapi ia bisa dibela oleh pemuka agama yang lain. Keyakinan ajaran merupakan wilayah hukum agama, bukan wilayah hukum positif. Namun demikian, penodaan keyakinan dapat saja melibatkan hubungan sesama manusia ketika hal itu membuat resah umat beragama. Keresahan ini umumnya terkait dengan penodaan prinsip dasar agama (ushuliyyah), bukan pengembangan pemikiran agama (furu’iyyah). Namun demikian, hal yang kecil dalam agama dapat dijadikan besar atas nama delik agama. Oleh karena itu, perlu pembatasan yang signifikan mengenai delik agama, agar tidak mudah disalahgunakan untuk kepentingan tertentu.

B. Ruang Lingkup Delik Pidana Agama
Sebelum merumuskan definisi delik agama atau delik pidana agama, terlelebih dahulu dikemukakan pengertian dan ruang lingkup delik. Dalam KUHP maupun Undang-undang lainnya tidak ada rumusan mengenai delik. Delik (delict) berasal dari Bahasa Latin, delictum. Istilah sepadan dari delik adalah straafbaar feit (menurut hukum pidana Belanda) dan offense/criminal act (menurut hukum pidana Anglo-Saxon). Untuk menterjemahkan istilah delik, para pakar hukum menterjemahkan istilah straafbaar feit, mengingat istilah yang terakhir ini berasal dari Bahasa Belanda, sedangkan KUHP juga dari Belanda, Wetboek van Strafrecht. Utrecht dan UUD Sementara 1950 mengartikannya dengan “peristiwa pidana”. Moeljatno dan Roeslan Saleh membuat pengertian delik dengan istilah “perbuatan pidana”. Hampir semua undang-undang memakai kata “tindak pidana”. Oemar Seno Adji pun mengikuti istilah ini. Karena masing-masing menunjuk arah makna yang berbeda, maka para pakar hukum membiarkan istilah “delik” dengan tanpa terjemahan. A. Z. Abidin mengusulkan pemakaian istilah “perbuatan kriminal”.  
Istilah apapun yang dipergunakan, pendapat para pakar hukum terbelah menjadi kelompok. Kelompok pertama –antara lain diwakili oleh Simons, G.A. van Hammel, H.B. Vos, Jonkers, dan Utrecht- berpendapat bahwa delik itu mengandung dua unsur sekaligus (monistis), yaitu perbuatan dan pertanggung-jawaban. Perbuatan ini mencakup kesengajaan maupun kealpaan (culpa). Pertanggung-jawaban menunjuk kepada pelaku perbuatan. Karena itu, delik yang dirumuskan adalah diancam dengan pidana oleh hukum; bertentangan dengan hukum; dilakukan oleh orang yang bersalah; orang itu dipandang bertanggung-jawab atas perbuatannya. Kelompok kedua –antara lain diwakili oleh Moeljatno, A.Z. Abidin, dan Roeslan Saleh- mengemukakan keterpisahan unsur perbuatan dan pertanggung-jawaban dari suatu delik (dualistis). Menurut A. Zainal Abidin Farid, delik adalah “Suatu perbuatan aktif atau pasif yang untuk delik meteriil disyaratkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan kausal dengan perbuatan yang melawan hukum formil dan materiil dan tidak adanya dasar yang membenarkan perbuatan itu”. Dari definisi ini, delik memiliki empat unsur, yaitu perbuatan aktif/positif atau pasif negatif; akibat (khusus delik-delik yang dirumuskan secara materiil); melawan hukum formil yang berkaitan dengan asas legalitas dan melawan hukum materiil (unsur diam-diam); serta tidak adanya dasar pembenar.
Kedua pandangan di atas dapat digambarkan melalui contoh sebagai berikut. Seseorang tidak suka dengan munculnya aliran keagamaan yang baru. Untuk melampiaskan kebenciannya, orang yang stres berat untuk melakukan penghinaan kepada pengikut aliran tersebut. Cara ini dilakukan untuk menghindari dari jeratan hukum terhadap dirinya. Menurut kelompok yang memadukan perbuatan dan pertanggung-jawaban, pelaku penghinaan (in casus manus ministra) tidak dijerat hukum, karena ia tidak mampu bertanggung-jawab, yakni sakit jiwa (Pasal 44 KUHP) sesuai pemeriksaan Psikiater (saksi ahli). Karena pelaku tidak terjerat delik, maka seseorang yang memanfaatkannya (manus domina) juga bisa bebas. Bagi kelompok dualistis, hal ini tidak bisa diterima. Menurut mereka, penghinaan saja, meski dilakukan oleh orang yang sakit jiwa, telah berlaku delik. Unsur pertanggungan-jawab tidak terkait dengan perbuatan, melainkan sebagai pemidanaan. Dengan terjerat delik, maka pelaku pemanfaatan juga terjerat pula.
Hukum pidana di Indonesia mengikuti dualistis di atas. Perbuatan pidana (actus reus) adalah hakekat delik. Semua tindak pidana yang termaktub dalam KUHP menekankan aspek perbuatan. Dari perbuatan pidana ini, dapat ditemukan suatu kesalahan setelah diadakan pembuktian. Dengan adanya kesalahan itu, suatu perbuatan dapat dinyatakan bersalah menurut hukum. Karena kesalahan suatu perbuatan dapat dinyatakan dengan bukti yang konkrit, maka ia disebut dengan pemidanaan obyektif. Dengan melihat pasal-pasal KUHP, sanksi untuk perbuatan tersebut dapat diajukan. 
Namun, sebelum menjatuhkan sanksi, pengadilan harus melihat pelaku perbuatan dari sisi pertanggung-jawabannya (mens rea). “Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri pembuat ketika melakukan tindak pidana. Kemudian pertanggungjawaban pidana juga berarti menghubungkan antara keadaan pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan”, tulis Chairul Huda. Mengingat pembuktian pertanggungjawaban bersifat abstrak, maka ia dinamakan pemidanaan subyektif. Dalam hal ini, penafsiran hakim lebih dominan. Dalam menafsirkan pemidanaan subyektif ini, Pasal 44 KUHP memuat hal-hal yang harus menjadi pertimbangan.
1. Kesalahan pembuat.
2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana.
3. Cara melakukan tindak pidana.
4. Sikap batin pembuat.
5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat.
6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.
7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat
8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan 
Menurut Ifdhal Kasim , untuk dapat dipidananya seseorang tidak cukup hanya karena orang tersebut melanggar aturan hukum (criminal act). Orang tersebut juga harus mempunyai ”kesalahan” (mens rea). Kesalahan, yang dapat berupa kesengajaan (intention) atau kealpaan, merupakan unsur utama dalam criminal responsibility. Kesalahan ini terletak di alam batin atau pikiran orang. Dengan demikian untuk adanya kesalahan, yang dapat dipidana, terdakwa harus secara komulatif:
1. melakukan tindakan pidana yang melanggar hukum; 
2. di atas umur tertentu dan dapat bertanggungjawab; 
3. mempunyai bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan; 
4. tidak ada alasan pemaaf, sesuai dengan prinsip: “an act does nor make a person guilty unless the mind is guilty”.
Dalam merumuskan suatu delik, perlu dikemukan dua komponennya, yaitu bagian inti (bestand delen) dan kualifikasi. Bagian inti adalan perbuatan yang benar-benar dilakukan oleh terdakwa. Menurut Andi Hamzah, kualifikasi merupakan ‘jembatan’ antara rumusan undang-undang yang abstrak dan pengertian sehari-hari tentang suatu delik. Kualifikasi menjadi penting tatkala rumusan delik dalam undang-undang mengandung ketidakjelasan yang terbuka adanya multi tafsir atau ‘pasal karet’ yang kerap disalahgunakan (haatzaai artikelen).
Sistem KUHP mengenal banyak delik, namun ada beberapa delik yang terkait dengan delik agama. Ada delik kejahatan dan delik pelanggaran. Kejahatan adalah delik hukum (rechtsdelicten) yang didefinisikan sebagai perbuatan tercela dan pembuatnya patut dipidana menurut masyarakat tanpa memperhatikan undang-undang pidana. Dengan kata lain, kejahatan menurut penilaian masyarakat yang oleh pembuat undang-undang ditetapkan sebagai kejahatan. Pelanggaran (wetsdecten) adalah perbuatan yang oleh masyarakat tidak dipandang sebagai perbuatan yang tercela hingga pembuatnya harus dipidana, tetapi oleh pembuat undang-undang ditetapkan sebagai delik untuk menjamin keamanan umum, memelihara dan mempertahankan ketertiban umum, atau untuk memajukan kesehatan umum. Dari pengertian ini, delik agama merupakan delik kejahatan, karena suatu penghinaan dan perasaan kebencian dipandang oleh masyarakat manapun sebagai termasuk perbuatan yang tercela. Perbuatan ini dapat menimbulkan gangguan ketentraman orang-orang beragama, seperti yang diungkapkan oleh Oemar Seno Adji. “Bukanlah agamanya yang dilindungi oleh peraturan demikian, melainkan aksentuasi, lebih-lebih diletakkan pada pelenggaran ketertiban umum yang harus dilindungi”, tulis Seno Adji. Pelanggaran dipandang tidak begitu berat dibanding kejahatan. Pelanggaran tidak mengenal “kesengajaan ataupun kealpaan” seperti dalam kejahatan. Pembantu tindakan pelanggaran tidak dikenakan pidana sebagaimana tindakan kejahatan. Untuk pelanggaran, tidak ada ketentuan harus adanya aduan sebagai syarat penuntutan, sedangkan delik aduan yang merupakan kejahatan mensyaratkan adanya pengaduan orang yang dirugikan.  
Pembagian delik yang lain adalah adanya delik formil yang hanya dilakukan perbuatannya saja dan delik materiil yang mengandung unsur akibat. Kedua delik ini berasal dari pemikiran pidana di Jerman, yaitu finale handlungslehre yang berdalil “kesengajaan termasuk perbuatan” dan kausale handlungslehre yang berdalil “segala sesuatu yang disebabkan oleh kehendak dan gerak jasmani berturut-turut setelah itu adalah perbuatan”. Selain itu, ada delik umum yang dilakukan oleh siapapun dan delik khusus yang hanya dilakukan oleh oang-orang tertentu. Ada juga delik penyerangan (krenkingsdelicten) hingga merugikan orang lain dan delik ancaman (gevaarzettingsdelicten), baik ancaman secara konkrit –seperti sengaja menimbulkan kebakaran- maupun ancaman abstrak –semacam penghasutan. Dari beberapa bentuk delik di atas, delik agama dapat dikelompokkan sebagai pelanggaran, mengandung delik materiil maupun materiil, memuat delik khusus, dan berisi delik ancaman. 
Istilah delik agama sebenarnya dapat mengandung berbagai pengertian, yaitu delik ”menurut agama”, delik ”terhadap agama”, dan delik ”yang berhubungan dengan agama” atau ”terhadap kehidupan beragama”. Delik agama dalam pengertian “menurut agama” banyak tersebar dalam KUHP, misalnya delik pembunuhan, pencurian, penipuan/perbuatan curang, penghinaan, fitnah, delik-delik kesusilaan (zina, perkosaan, dan sebagainya). Delik-delik “ menurut agama” ini belum tentu sama dan tidak mencakup semua perbuatan dosa/terlarang/tercela menurut ajaran atau norma-norma hukum agama. Hukum agama merupakan dasar hukum moral bagi masyarakat Indonesia. Meski demikian, hukum pidana tidak selalu merupakan hasil refleksi dari moralitas, termasuk dalam menentukan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Roeslan Saleh berpendapat, bahwa tidak semua perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan tercela ditetapkan sebagai tindak pidana. Sebaliknya, sekali perbuatan ditetapkan sebagai tindak pidana, maka hukum memandang perbuatan-perbuatan tersebut sebagai tercela. Hukum mengharapkan sistem moral untuk mengikutinya. Demikian pula, masyarakat diarahkan untuk mencelanya. Dengan demikian, delik “menurut agama” memiliki tingkatan lebih rendah dibanding dengan delik “terhadap agama”.
Delik agama dalam pengertian delik ”terhadap agama” terlihat terutama dalam Pasal 156 dan 156a KUHP (penodaan terhadap agama dan melakukan perbuatan agar orang tidak menganut agama). Pasal ini berkaitan erat dengan UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Tidak hanya itu, delik “terhadap agama” juga mencakup Rancangan KUHP. Meski dalam tataran konsep, RKUHP ini penting untuk dijadikan perbandingan dengan rumusan delik terdahulu.
Pasal 156 KUHP
Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap sesuatu atau beberapa golongan penduduk Negara Indonesia, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-
Pasal 156a KUHP
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Undang-undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama
Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, mengajarkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; Penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Pasal 2
1. Barangsiapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri;
2. Apabila pelanggaran tersebut dalam pasal 1 dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 3
Apabila setelah dilakukan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi atau kepercayaan, mereka masih melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun
Pasal 4
Pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana diadakan pasal baru yag berbunyi sebagai berikut:
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Adapun delik agama dalam pengertian ”terhadap kehidupan beragama”, tersebar antara lain di dalam Pasal 175-181 dan 503 ke-2 KUHP yang meliputi perbuatan-perbuatan:
1. merintangi pertemuan/upacara agama dan upacara penguburan jenazah (pasal 175); 
2. mengganggu pertemuan/upacara keagamaan dan upacara penguburan jenazah (pasal 176);
3. menertawakan petugas agama dalam menjalankan tugasnya yang diijinkan (pasal 177 ke-1);
4. menghina benda-benda keperluan ibadah (pasal 177 ke-2); 
5. merintangi pengangkutan mayat ke kuburan (pasal 178); 
6. menodai./merusak kuburan (pasal 179); 
7. menggali, mengambil, memindahkan jenazah (pasal 180); 
8. menyembunyikan /menghilangkan jenazah untuk menyembunyikan kematian/kelahiran (pasal 181); 
9. membuat gaduh dekat bangunan untuk ibadah atau pada waktu ibadah dilakukan (pasal 503 ke-2). 
Dari ketiga pemahaman tentang delik agama di atas, pemahaman yang releven dengan delik agama adalah delik “terhadap agama” dan delik “terhadap kehidupan beragama”. Pemahaman delik “terhadap kehidupan beragama” dapat dijadikan perluasan hukum dari delik”terhadap agama”. Selain itu, pasal-pasal yang termuat dalam Bab V : Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum juga dapat dijadikan penafsiran atas apa yang dimaksud dengan delik agama dalam pasal 156 dan 156a. Untuk memperoleh pemahaman mengenai delik agama dalam KUHP dengan baik, maka perlu dilakukan konstruksi hukum pada pasal 156 dan156a tersebut. 
C. Konstruksi Hukum Atas Delik Agama
Perdebatan mengenai delik agama semakin tajam pada masa pasca Orde Baru, suatu masa keterbukaan dan kebebasan berpendapat. Delik agama mendapat perhatian dari masyarakat setelah ada gagasan dari pemerintah untuk memperluas wilayah delik agama dalam Rancangan KUHP. Perdebatan tersebut memunculkan dua spektrum pemikiran yang sesungguhnya telah lama tumbuh di Indonesia, yaitu sekuler dan non-sekuler. Mereka yang setuju dengan sekulerisasi mengharapkan pemisahan wilayah agama dan negara, termasuk negara tidak diperkenankan melakukan intervensi terhadap persoalan agama. Dalam hal ini, mereka tidak setuju dengan kebijakan delik agama. Ifdhal Kasim menyebut negara telah melakukan over-criminalization. Ketidaksetujuan ini mempengaruhi konstruksi mereka atas delik agama di atas. Bagi kelompok non-sekuler, delik agama masih perlu untuk diberlakukan, agar tercipta ketentraman bagi pemeluk agama dalam menjalankan agamanya. Menurut mereka, negara wajib melindungi keberagamaan warganegara sesuai dengan amanat konstitusi sekaligus implementasi dari pengakuan kedaulatan Tuhan yang mewarnai dasar pendirian negara Republik Indonesia. Ketika sebuah negara melindungi agama warganya, tentu ia harus memiliki peraturan yang memuat perlindungan tersebut. Selain itu, menurut Mahfud MD , salah satu pakar hukum yang menyetujui pemberlakuan delik agama, alasan realistis dari perlunya delik agama adalah sifat ekspansif dari agama itu sendiri. Setiap agama menuntut pemeluknya untuk mengajak orang lain agar mengikuti jalannya. Dalam hal ini, negara wajib mengatur hubungan antar pemeluk agama maupun intra pemeluk agama. Mengatur pemeluk agama tidak bisa terlepas dari ajaran agamanya. Karenanya, konstruksi mereka atas delik agama juga mengarah kepada urgensi delik agama tersebut.
Pakar hukum yang mula-mula membuat konstruksi delik agama adalah Prof. Oemar Seno Adji, tokoh yang menggagas perlunya pemberlakuan delik agama. Menurut Seno Adji, agama dalam delik agama tidak bisa dipisahkan dari pemeluk agama. Karena itu, “Pernyataan bermusuhan, benci, atau merendahkan yang ditujukan terhadap agama, Nabi, Kitab Suci, dan lain dipandang identik ditujukan pula terhadap penganutnya agama yang bersangkutan”, tulis Seno Adji. Penganut agama adalah manusia yang memiliki hak kehormatan dan nama baik. Hal ini relevan dengan sila kedua dari Pancasila, yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Karenanya, pasal 156 KUHP tidak hanya dikatakan sebagai delik agama, tetapi juga dapat disebut sebagai delik kehormatan. Tindak pidana dalan delik kehormatan terdiri dari empat bentuk, yaitu menista (secara lisan), menista secara tertulis, fitnah, dan penghinaan ringan. Dari keempat bentuk ini, hanya penghinaan ringan yang termaktub dalam pasal di atas. Pasal 315 KUHP telah mengatur penghinaan ringan sebagai berikut.
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat menista atau menista dengan surat, yang dilakukan terhadap seseorang baik di muka umum dengan lisan atau dengan surat baik di muka orang orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, baik dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, dihukum karena salahnya penghinaan ringan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah”.

Pasal 315 KUHP di atas mengandung empat unsur berkenaan dengan penghinaan ringan, ialah penghinaan, sengaja, tidak bersifat menista atau menista dengan surat, serta di muka umum. Karenanya, Marpaung mendefinisikan penghinaan, yaitu “perbuatan dengan sengaja menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Batasan penghinaan tidak ditemukan, sehingga pasal 156 besar kemungkinan disalahtafsirkan. Penghinaan bernilai subyektif: penghinaan bagi seseorang belum tentu penghinaan menurut orang lain. Penghinaan dapat terukur dengan sasaran golongan dan berdampak pada ketertiban umum. Penghinaan kepada seseorang bisa tidak dikategorikan delik, selama hal ini tidak merisaukan orang yang dihina. Atau, penghinaan tersebut tidak menjadi keresahan masyarakat serta dapat diatasi dengan damai.
Ada tiga teori dalam mengungkapkan motif pelanggaran agama sebagai suatu tindak pidana. Pertama, Fridensschutz-theorie, yaitu memandang ketertiban umum sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi. Kedua, Gefühlsschutz-theorie, yaitu melindungi rasa keagamaan. Ketiga, Religionsschutz-theorie, yaitu melihat agama sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi. Dari ketiga teori, menurut Seno Adji, delik agama lebih tepat disandarkan pada Gefühlsschutz-theorie dan Fridensschutz-theorie. Hal ini dapat dilihat dari kedudukan pasal 156 yang diletakkan dalam Bab V: Kejahatan Terhadap Ketertiban Umum. Pasal-pasal yang masuk dalam kelompok ini menekankan pada delik ketertiban umum. Dalam delik ketertiban umum, obyek perbuatannya adalah golongan penduduk, sedangkan subyeknya berupa perbuatan yang memiliki makna yang lebih luas (haatzaai-artikelen). “Pernyataan perasaan permusuhan, benci, atau meremehkan terang lebih luas dari kedua-dua jenis penghinaan, materiil dan formil”, tulis SenoAdji. Selain itu, delik agama juga dikembangkan pada pencegahan penyelahgunaan dan penodaan agama sebagaimana sebagaimana Undang-undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965.
Aspek lain yang mendukung pasal di atas sebagai delik ketertiban umum adalah klausul “di muka umum”. Klausul ini memberikan ragam penafsiran. Satu di antaranya adalah minimal dilakukan dalam komunikasi antar personal, yakni percakapan tatap muka. Penafsiran yang lain adalah tersebar kepada publik. Meskipun perasaan kebencian diungkapkan sendiri, tanpa ada orang lain bersamanya, tetapi perasaan tersebut dipublikasikan oleh orang lain, maka ia dapat dijerat delik agama. Penafsiran yang sering digunakan adalah adanya unsur kesengajaan, yakni sengaja mengungkapkan kebencian dan penghinaan kepada orang lain. Dari beberapa penafsiran mengenai “di muka umum”, dapat diajukan suatu pendapat bahwa hal itu menunjukkan adanya delik materiil dalam pasal 156 dan 156a, selain terkandung pula delik formil. Artinya, kesengajaan dalam delik agama tidak saja pada perbuatannya, melainkan pula pada akibat dari perbuatannya. Dari pemahaman ini, tuntutan delik agama dapat diarahkan kepada orang yang dengan sengaja melakukan penghinaan, sekaligus mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat diketahui oleh orang lain. Akibat yang dimaksud dari pemahaman pasal tersebut adalah mempengaruhi pemikiran orang lain. Pemikiran (kognitif) lebih rendah tingkatannya dari perasaan (afektif) maupun perbuatan (konatif). Selain itu, akibat juga diukur dengan keresahan suatu kelompok masyarakat. Dalam pasal 156 dinyatakan dengan kata “golongan”. Dengan demikian, penghinaan agama dalam komunikasi antar personal saja dapat dijerat sebagai delik agama, karena orang yang dihina atau mendengar penghinaannya dapat dimungkinkan menyebarkannya kepada publik serta menimbulkan keresahan bagi kelompok tertentu.
Pasal 156 dan 156a di atas termasuk dari delik umum jika dipandang dari subyek hukumnya dan termasuk delik khusus bila dilihat dari obyek hukumnya. Penafsiran ini didasarkan pada klausul “Barangsiapa” dan “golongan. Pengertian golongan ini, menurut Seno Adji, adalah “bagian penduduk yang berbeda dengan satu atau bagian lainnya dengan mengambil kriteria tertentu, yaitu ras, negeri asalnya, agamanya, tempat asal, keturunan, kebangsaan, dan kedudukannya menurut hukum tata negara”. Kriteria yang diajukan Seno Adji tersebut menunjukkan karakteristik khusus dari warga bisa menjadi sasaran oleh subyek hukum. Dalam delik agama, ada dua bentuk subyek hukum dalam delik ini, yaitu penghinaan, kebencian, dan permusuhan terhadap ajaran agama dan pemeluk agama. Agama adalah salah satu kriteria warganegara yang dapat dijadikan sasaran penghinaan, permusuhan, maupun kebencian, baik dalam bentuk perasaan ataupun perbuatan.
Dalam 156 dan 156a, sanksi hukum yang menjadi ancaman adalah penjara atau denda. Tidak ada peringatan terlebih dahulu sebelum diberlakukan sanksi tersebut. Hal ini berbeda dengan upaya penafsiran agama yang di luar pokok suatu agama seperti diatur dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Dengan demikian, nilai permusuhan, kebencian, dan penghinaan lebih tercela menurut norma masyarakat dibandingkan dengan penafsiran ajaran agama yang berbeda dengan ‘mainstream’. Penafsiran merupakan hak asasi mengeluarkan pendapat. Selain itu, penafsiran yang salah dapat diatasi secara sosiologis oleh pemuka agama yang memiliki kewenangan dalam menafsirkan agama. Dengan kewenangan dan bimbingan pemuka agama, para pemeluk agama lainnya dapat disadarkan dari kesalahannya. Oleh karena itu, delik agama, pada dasarnya, menekankan aspek ketertiban umum. Subyek hukum dalam delik agama juga memiliki kesamaan dengan subyek hukum delik subversif, delik asusila, dan delik lainnya, yaitu penghinaan. 
Meskipun delik agama dimaksudkan untu menjaga ketertiban umum serta menjaga eksistensi agama dan kewibawaan agama, namun pernyataan yang diungkapkan masih bersifat umum. Untuk itu, delik ini terbuka untuk disalahtafsirkan. Keterbukaan dan keluasan delik agama semakin terasa pada RKUHP di atas. Kelompok yang menolak delik agama memberikan alasan bahwa delik ini tidak melindungi pemeluk agama, tetapi melindungi agama. Ifdhal Kasim mencatat,
“Perancang RUU KUHPidana telah merumuskan begitu banyak tindak pidana (delik) terhadap agama maupun tindak pidana (delik) yang berhubungan dengan agama. Meskipun beberapa tindak pidana merupakan perumusan ulang dari KUHP yang sekarang berlaku, tetapi formulasi yang dihasilkan oleh perancang RUU masih tetap luas. Apalagi bahasa yang digunakan bersifat subjektif, jauh dari prinsip “lex certa”. Akibatnya, setiap orang akan dengan mudah dituduh mengejek, menghasut, menghina dan sebagainya --yang pada gilirannya dapat berbenturan dengan jaminan konstitusi mengenai kebebasan berpikir dan berekspresi”. 

Problema lama dari delik agama yang mendorong perdebatan hingga saat ini adalah tidak adanya definisi yang jelas mengenai agama. Ketidakjelasan ini bisa dimanfaatkan untuk mengklaim kebenaran agama, sehingga pendapat atau pemikiran yang bertolakbelakang dengan kebenaran tersebut dianggap sesat. “Definisi agama hanya mencakup agama yang diakui oleh negara, tidak mencakup kepercayaan lokal. Akibatnya, menghina keyakinan lokal masyarakat adat dianggap bukan sebagai penodaan agama”, tulis Rumadi .
M. Subhi Azhari juga menengarai adanya diskriminasi adalam delik agama. Dalam penjelasan pasal 1 Undang-undang Nomor 1 PNPS Tahun 1965 ini ditegaskan bahwa agama yang dianut di Indonesia ada enam (6) agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu (Penjelasan pasal 1). Ketentuan ini secara jelas menunjukkan adanya politik pembatasan agama oleh Negara. Selama ini, ada dua pertimbangan yang dapat dijadikan bukti. 
Pertama, negara menentukan sebuah agama bisa diakui atau tidak dengan melihat seberapa besar pemeluk agama tersebut. Keenam agama ini menurut pemerintah memeliki pemeluk yang besar di Indonesia, karena itu harus diakui keberadaannya. Argumentasi ini dapat kita lihat dalam lanjutan penjelasan pasal 1 PNPS di atas: “Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar juga mereka mandapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini” 
Kedua, negara menganggap penting pembatasan agama di Indonesia untuk mencegah adanya gangguan terhadap kemanan dan cita-cita revolusi. Hal ini misalnya nampak dalam konsideran PNPS ini. “Bahwa dalam rangka pengamanan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi nasional dan pembangunan nasional semesta menuju masyarakat adil dan makmur, perlu mengadakan peraturan untuk mencegah penyalahgunaan atau penodaan agama”. Kemudian dalam penjelasan Umum (poin 1) diperkuat: “Di antara ajaran ajaran/peraturan-peraturan pada pemeluk aliran-aliran tersebut sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional dan menodai agama. dari kenyataan, teranglah, bahwa aliran-aliran atau organisasi-organisasi kebathinan/kepercayaan masyarakat yang menyalahkan dan atau mempergunakan agama sebagai pokok pada akhir-akhir ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan agama-agama yang ada”. 
Dengan membaca konstruksi hukum di atas, dapat dikemukakan bahwa delik agama yang tercantum dalam pasal 156 dan 156a kurang mendapat sorotan, padahal Seno Adji telah memberikan analisisnya secara lebih mendalam. Akan tetapi, seperti diakui oleh Seno Adji sendiri, pasal ini masih perlu penjelasan, sehingga ia tidak mudah disalahgunakan oleh pihak lain.
D. Hukum Acara Delik Pidana Agama
Penyelesaian delik agama memiliki kekhususan dibanding delik yang lain. Kekhususan tersebut adalah prioritas penyelesaian di luar pengadilan. Penyelesaian ini memposisikan hukum agama sebagai alternatif awal sebelum merujuk pada hukum positif. Meskipun hukum agama dikatakan sebagai salah satu sumber pembentukan hukum positif, namun banyak bagian hukum agama yang belum terakomodasi. Dalam hukum agama, terdapat rumusan-rumusan yang hanya bisa dipahami oleh pakar agama atau pemuka agama. Para pemeluk agama lebih percaya dan menyerahkan sepenuhnya persoalan delik agama kepada pemuka agama. Selain itu, bagi sebagian besar pemeluk agama, penyelesaian dengan hukum agama lebih diterima daripada dengan hukum positif. Tradisi semacam ini telah mengakar kuat di masyarakat Indonesia sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini. 
Pemuka agama dapat dipahami sebagai pribadi yang memiliki kemampuan menafsirkan ajaran agama serta memiliki pengikut yang menjalankan agama sesuai dengan penafsiran tersebut. Sebagai pribadi, pemuka agama hanya dapat mengatasi sengketa agama yang bersifat lokal serta tidak berdampak besar. Penting dikemukakan, bahwa status pemuka agama bagi masyarakat Indonesia berarti pula sebagai pemimpin informal masyarakat. Umumnya, pemuka agama ini tidak hanya berwenang dalam menangani masalah agama, tetapi juga ia mampu mengatasi persoalan selain agama, seperti ekonomi, politik, dan masalah sosial lainnya. Dengan otoritas pemuka agama ini, banyak delik agama yang terjadi di masyarakat tidak sampai ke pengadilan. Karenanya, hampir tidak ada kasus delik agama yang tercatat di panitera pengadilan. Ketika delik agama belum dapat diatasi oleh pemuka agama, maka otoritasnya diberikan kepada lembaga agama atau pengadilan. Secara teoritis, delik agama terwujud dalam dua macam, yaitu penodaan dan penyalahgunaan ajaran agama serta penghinaan dan pengungkapan kebencian terhadap golongan pemeluk agama. Penodaan ajaran agama diselesaikan melalui lembaga keagamaan, sedangkan penghinaan kepada pemeluk agama yang mengganggu ketertiban umum melalui pengadilan. Demikian ini sesuai dengan pasal 1-3 UU No. 1 PNPS Tahun 1965.
Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, mengajarkan, atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; Penafsiran dan kegiatan-kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Pasal 2
1. Barangsiapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan itu dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri;
2. Apabila pelanggaran tersebut dalam pasal 1 dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran tersebut sebagai organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 3
Apabila setelah dilakukan oleh Menteri Agama bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau Presiden Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, organisasi atau kepercayaan, mereka masih melanggar ketentuan dalam pasal 1, maka orang, anggota dan/atau anggota pengurus organisasi yang bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun

Dalam undang-undang di atas, penyelesaian lewat pengadilan dalam kasus penyalahgunaan dan penodaan ajaran agama merupakan pilihan terakhir setelah penyelesaian di luar pengadilan. Penyelesaian di luar pengadilan dilakukan oleh negara, yakni rakyat bersama pemerintah dalam wilayah tertentu. Dalam hal ini, pemerintah yang berwenang menangani delik agama menurut undang-undang di atas adalah Presiden yang dibantu oleh Menteri-menteri terkait, yaitu Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung. Sementara itu, rakyat dimaknai dengan pemeluk agama. Para pemeluk agama memiliki pemimpin yang dinamakan pemuka agama serta memiliki wadah organisasi yang disebut lembaga keagamaan.
Ada tiga bentuk lembaga keagamaan di Indonesia. Pertama, lembaga keagamaan yang dibentuk oleh pemerintah, yaitu Departemen Agama Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang Menteri Agama. Depertemen Agama memberikan pelayanan kepada agama-agama yang diakui di Indonesia, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, dan Budha. Masing-masing agama ini memiliki perwakilan pejabat di Departemen Agama. Secara kritis, dapat diajukan pemikiran, bahwa keterwakilan ini dapat memunculkan deskriminasi terhadap agama yang baru. Dalam penjelasan pasal 1 Undang-undang PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama, terdapat pengakuan agama Konghucu (Konfusius), selain kelima agama di atas. Di samping itu, penjelasan tersebut juga menyatakan, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Theoism, dilarang di Indonesia. Mereka mendapatkan jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat (2) dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain”.
Kedua, lembaga keagamaan yang menjadi mitra Departemen Agama. karena Departemen Agama hanya melayani lima agama, maka lembaga keagamaan yang dijadikan mitranya ada lima lembaga, yaitu: Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Buddha (WALUBI). Melalui kelima lembaga keagamaan ini, Departemen Agama menggali pemikiran para pemuka agama untuk merumuskan kebijakan mengenai kehidupan beragama. Agar terjalin komunikasi antara umat beragama, pemerintah melalui Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 / Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Dalam hal delik agama, lembaga keagamaan mitra pemerintah ini sering memutuskan penodaan dan penyalahgunaan ajaran agama yang pokok dan mendasar. Ajaran dasar agama adalah masalah keimanan pokok, semacam Tuhan, Nabi, dan Kitab Suci. Kasus kelompok Ahmadiyah yang menyatakan adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW hingga membuat resah umat Islam telah dikaji dan diputuskan oleh MUI sebagai keyakinan yang sesat. MUI juga merekomendasikan agar pemerintah membubarkan Organisasi Ahmadiyah.
Ketiga, lembaga keagamaan yang mengikuti aliran agama tertentu. Dalam perkembangan setiap agama, tidak terlepas dari perkembangan aliran atau sekte, karena ajaran agama terbuka ditafsirkan oleh siapapun yang mampu. Setiap penafsiran agama memunculkan aliran atau sekte agama. Lembaga keagamaan yang berdasarkan aliran ini mewakilkan anggotanya dalam lembaga keagamaan mitra pemerintah. Namun demikian, lembaga keagamaan aliran bukan pengembangan atau bawahan dari lembaga keagamaan mitra pemerintah, melainkan keduanya berkedudukan sejajar. Keduanya juga memiliki perhatian terhadap persoalan pemeluk agama serta diakui keberadaannya sebagai badan hukum. Hanya saja, dalam delik agama, lembaga keagamaan mitra pemerintah sering dilibatkan dalam mengatasinya. Selain itu, beberapa lembaga keagamaan aliran mewakilkan anggotanya untuk duduk dalam kepengurusan lembaga keagamaan mitra pemerintah. Nahdlatul Ulama (NU), misalnya, merupakan lembaga keagamaan aliran yang berpegang teguh pada prinsip madzhab, yakni mengakui dan menggunakan pola pemikiran dari empat madzhab besar dalam Fikih: Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Lembaga keagamaan lainnya adalah Muhammadiyah yang mengamalkan ajaran agama dengan berpikir sendiri secara mendalam (ijtihad) atas al-Qur’an dan al-Hadits, tanpa merujuk pada pendapat ulama seperti NU. Masing-masing dari pengurus kedua lembaga NU dan Muhammadiyah mendelegasikan beberapa anggotanya di MUI yang berdiri pada 26 Juli 1975 M. / 17 Rajab 1395 H.
Ketiga bentuk lembaga keagamaan di atas memiliki hak untuk menyelesaikan delik agama. Secara sosiologis, mula-mula delik agama diatasi secara kekeluargaan oleh pemuka agama setempat. Jika masalah belum teratasi dan dampaknya semakin luas, penyelesaiannya diserahkan kepada lembaga keagamaan: dari lembaga keagamaan aliran, lembaga keagamaan mitra pemerintah, hingga pemerintah (eksekutif). Selama ini, pihak pemerintah yang menangani delik agama adalah Departemen Agama, Jaksa Agung, dan Departemen Dalam Negeri [UU. No. 5/1969 PNPS No.1/1965 ps 2 (1)]. Departemen Agama mengatur sisi penodaan ajaran agama, Jaksa Agung pada bidang pembubaran aliran kepercayaan, dan Departemen Dalam Negeri pada aspek dampak delik terhadap ketertiban umum. Semuanya bertanggung-jawab kepada Presiden. 
Dengan terbentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) oleh Peraturan Berasama Menteri agama dan Menteri Dalam Negeri, penyelesaian delik agama semakin diintervensi oleh pemerintah. FKUB merupakan wahana komunikasi yang dibentuk di tingkat propinsi dan kabupaten/kota (pasal 8) untuk melakukan dialog, menampung dan menyampaikan aspirasi lembaga keagamaan, serta melakukan sosialisasi mengenai kebijakan keagamaan, bahkan FKUB pada tingkat kabupaten berwenang memberikan rekomendasi tertulis dalam mendirikan rumah ibadah. Dalam peraturan tersebut, terdapat intruksi pemeliharaan kerukunan umat beragama kepada Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, hingga Kepala Desa/Lurah. Kewenangan pemeliharaan di sini terkait dengan penyelesaian konflik antara pemeluk agama maupun penodaan ajaran agama. Apabila terjadi aliran agama atau kepercayaan baru di masyarakat, maka Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan di Masyarakat (BAKOR PAKEM) –dahulu dibentuk oleh Keputusan Jaksa Agung Nomor : Kep-108/J.A/5/1984 dengan nama Team Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat- juga dilibatkan. Keterlibatan kejaksaan sangat dimungkinkan karena melalui Undang-undang nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI jo. UU nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, kejaksaan diberi kewenangan untuk melakukan penelitian dan penindakan terhadap berbagai aliran di masyarakat. Selain itu di dalam institusi kejaksaan juga didirikan BAKOR PAKEM yang bertugas meneliti dan memberi rekomendasi kepada kejaksaan tentang suatu aliran yang dianggap menyimpang. Jika lembaga keagamaan belum juga mengatasinya, maka delik agama tersebut dialihkan ke pengadilan (yudikatif). Dengan demikian, proses penyelesaian delik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.
 
Gambar 1 : Proses Penyelesaian Delik Agama di Luar Pengadilan

Ketika delik agama dibawa ke pengadilan umum, maka berlaku hukum acara pidana sebagaimana delik lainnya. Namun demikian, perlu ada perlakuan khusus dalam penyelesaian perkara delik agama. Pertama, saat diadakan penyelidikan, perhatian harus mengarah delik agama sebagai delik kejahatan. Dalam hal ini, gangguan atas ketertiban umum sebagai akibat dari penghinaan dan kebencian dapat menjadi delik primer, sedangkan penodaan dan penyalahgunaan agama bisa menjadi delik subsider. Untuk penghinaan dan kebencian dapat dibuktikan dengan bukti materiil dan saksi, sementara penodaan dan penyalahgunaan dibuktikan dengan keterangan saksi ahli. 
Kedua, karena pihak yang terkorbankan adalah golongan agama dengan jumlah pemeluk yang tidak sedikit, maka pihak kepolisian perlu mengamankan subyek hukum untuk menghindari penghakiman massal. Menurut ajaran agama apapun, kehormatan agama merupakan prioritas utama yang harus dijaga oleh pemeluknya melebihi kehormatan lainnya. Dengan doktrin ini, pemeluk agama mudah terbakar emosinya manakala keyakinannya dihina oleh seseorang atau kelompok lain. Dalam beberapa kasus, delik agama selalu membawa dampak anarkhis, bahkan pertikaian antara golongan.
Ketiga, proses hukum untuk delik agama tidak bisa berdiri sendiri, tetapi ia harus menyertakan pemuka agama atau lembaga keagamaan, dari proses penyelidikan hingga persidangan. Pemuka agama maupun lembaga keagamaan merupakan tokoh kunci dalam meredam konflik agama. Selain itu, pemuka agama atau lembaga keagamaan dapat dijadikan sebagai saksi ahli untuk menjelaskan penafsiran agama. Namun, untuk suatu pembuktiannya, keterangan ahli hanya diakui pada saat persidangan.Dalam KUHAP pasal 136, keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Klausul ini belum menemukan titik kejelasan. Menurut Djoko Prakoso, ahli tidak harus memiliki latar belakang pendidikan khusus, tetapi ukurannya luas sekali, yakni siapapun yang dapat membantu mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan dan pengalamannya. Dalam delik agama, pemuka agama yang ditunjuk sebagai ahli tergantung dari pilihan hakim. Pemuka agama itu sendiri terkait dengan pemahamannya tentang ajaran agama. Sebagai contoh, pemuka agama yang radikal akan memberikan keterangan yang merugikan terdakwa penodaan agama, karena dinilai menyimpang dari ajaran dasar agama. Jika pemuka agama berwawasan liberal yang ditunjuk sebagai saksi ahli, tentu ia mendasarkan pemikirannya pada kebebasan berpendapat, sehingga keterangannya bisa memperingan terdakwa. Oleh karena itu, pemiliohan pemuka agama dapat menjadi permasalahan jika hakim kurang obyektif dalam pemilihan saksi ahli.
Keempat, dalam delik agama, terdapat dua pemikiran yang saling tarik-menarik, yaitu pemikiran atas nama kebebasan berpendapat dan pemikiran kebenaran “mainstream” agama. Apapun keputusan hakim akan membawa pada opini publik. Untuk itu, jurispudensi mengenai delik agama harus dijauhkan dari intervensi siapapun.
Untuk memahami proses penyelesaian delik agama, kiranya perlu dikemukakan mengenai penjelasan Kepala Badan Litbang Diklat Departemen Agama tentang perkembangan dan penanganan masalah Ahmadiyah di Indonesia sebagai berikut ini. 
“Pada tahun 1980, MUI memfatwakan bahwa Ahmadiyah Qadiyani (Jemaat Ahmadiyah Indonesia/JAI) adalah sesat. Kemudian dalam fatwa MUI tahun 2005 terjadi perluasan, yakni baik Ahmadiyah Qadiyani (JAI) maupun Ahmadiyah Lahore (Gerakan Ahmadiyah Indonesia/GAI), keduanya dinyatakan sesat oleh MUI. Pada tahun 2005, Bakor Pakem merekomendasikan kepada Pemerintah/Presiden Republik Indonesia agar organisasi, kegiatan, ajaran, dan buku-buku yang berisi ajaran Ahmadiyah dilarang di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan suatu Peraturan Presiden Republik Indonesia. Sementara SK Presiden belum turun, dalam berbagai rapat tingkat menteri yang antara lain dihadiri oleh Jaksa Agung, Abdurrahman Saleh, disarankan agar terlebih dahulu dilakukan dialog dengan pihak Ahmadiyah. Menteri Agama memerintahkan Kabalitbang dan Diklat Departemen Agama, Prof. Dr. H.M. Atho Muzdhar, untuk melakukan dialog dengan JAI. Selanjutnya, Kabalitbang dan Diklat Departemen Agama melaksanakan dialog dengan JAI, dan disambut baik oleh JAI. Dialog berjalan sebanyak 7 kali putaran, yaitu tanggal 7 September 2007, 2 Oktober 2007, 8 November 2007, 29 November 2007, 6 Desember 2007, 19 Desember 2007, dan 14 Januari 2008. Selain dialog keenam tanggal 19 Desember 2007 yang bertempat di Mabes Polri dan dipimpin oleh Kaba Intelkam Polri, Irjen Pol. Saleh Saaf, seluruh dialog bertempat di Kantor Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama dan dipimpin oleh Kabalitbang dan Diklat Departemen Agama. Dialog dihadiri oleh sejumlah peneliti Badan Litbang dan Diklat, Dirjen Bimas Islam atau wakilnya, Dirjen Kesbangpol Depdagri atau wakilnya, dan Deputi Menko Kesra Bidang Agama atau wakilnya, disamping tentu saja para pimpinan JAI yang berjumlah 5 sampai 6 orang yang selalu dipimpin oleh Saudara Abdul Basit sebagai Amir PB JAI. Sejak pertemuan keempat dan seterusnya, dialog dihadiri juga oleh KH. Agus Miftach mewakili tokoh masyarakat, Kaba Intelkam Polri atau wakilnya, dan wakil dari Kejaksaan Agung, kecuali pada pertemuan ketujuh. Khusus pada pertemuan ketujuh, tanggal 14 Januari 2008, dialog dihadiri juga oleh Deputi Seswapres Bidang Kesra, Prof. Dr. Azyumardi Azra dan staf, dan 4 orang wakil dari PB Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI). Selanjutnya pada tanggal 15 Januari 2008, diselenggarakan Rapat Bakor Pakem di Kejaksaan Agung, dipimpin oleh Jaksa Agung Muda Intelijen, Wisnu Subroto. Rapat itu dihadiri: Kabalitbang dan Diklat Departemen Agama, Kaba Intelkam Polri, Direktur Sospol, Kasubdit Pakem, wakil dari Depdagri, wakil dari Kementerian Budaya dan Pariwisata, Deputi II BIN, dan Asisten Intelejen Kejati DKI Jakarta. Rapat itu mendengarkan penjelasan peserta rapat mengenai hasil Rakor Pakem tahun 2005, dan 12 butir, penjelasan JAI tanggal 14 Januari 2008, hasil dialog dengan Depag. Rapat itu menghasilkan 5 butir keputusan, yang intinya menyatakan bahwa telah membaca dan memahami isi 12 butir Penjelasan JAI, menilai perlu memberikan kesempatan kepada JAI untuk melaksanakan 12 butir penjelasan itu dengan segala konsekuensinya secara konsisten dan bertanggung jawab. Apabila di lapangan dalam pelaksanaannya ditemukan tidak ada kesesuaian dengan 12 butir tersebut, maka Bakor Pakem akan mempertimbangkan penyelesaian lain sesuai ketentuan yang berlaku. Pada tanggal 16 Januari 2008 pukul 15.30 wib, tiga pejabat Departemen Agama, yaitu: Sekjen Departemen Agama, Dirjen Bimas Islam, dan Kabalitbang dan Diklat Departemen Agama, serta Kaba Intelkam Polri, telah bertemu Pimpinan MUI di kantor MUI untuk menjelaskan posisi 12 butir Penjelasan JAI tersebut dan hasil Rapat Bakor Pakem sehari sebelumnya. Pada tanggal 24 Januari 2008, Menteri Agama RI mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 6 Tahun 2008 tentang Tim Pemantau dan Evaluasi Pelaksanaan 12 (Dua Belas) Butir Penjelasan Pengurus Besar Jemaat Ahmadiyah Indonesia (PB-JAI) tanggal 14 Januari 2008”. 






BAB III
METODE PENELITIAN
A. Wilayah Penelitian
Kabupaten Mojokerto menjadi wilayah penelitian ini. Keterkaitannya dengan persoalan yang diangkat terletak pada setting hukum dan keagamaan masyarakat Mojokerto. Daerah dengan 18 kecamatan ini, memiliki ragam budaya masyarakat. Dari setting keagamaan, agama yang dipeluk Kabupaten Mojokerto ada lima macam, yaitu Islam (938.440 jiwa), Protestan (10.397 jiwa), Katolik (1.837 jiwa), Hindu (518 jiwa), dan Budha (741 jiwa). Sementara itu, tempat ibadah yang dimiliki oleh masing-masing pemeluk agama adalah sebagai berikut: 1.004 masjid, 234 musholla, 3.433 langgar, 42 gereja Kristen Protestan, 4 gereja Katolik, 4 pura, dan 3 Vihara. Dari jumlah pemeluk agama ini, sebagian besar masyarakat Mojokerto menganut agama Islam, yakni 98,99 %. 
Besarnya penganut agama Islam di Kabupaten Mojokerto juga terwadahi dalam 14 Organisasi Kemasyarakatan (ORMAS) Islam dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Keagamaan Islam, yaitu: Nahdlatul Ulama (490.657 anggota), Muhammadiyah (78.184 anggota), LDII (8.921 anggota), DMI (308 anggota), MUI (104 anggota), LSM Bina Madani (450 anggota), Muslimat (17.842 anggota), GP. Anshor (26.763 anggota), Fatayat (17.842 anggota), IPNU (26.763 anggota), IPPNU (17.842 anggota), Aisyiyah (16.223 anggota), Pemuda Muhammadiyah (15.540 anggota), dan Nasyiatul Aisyiyah (10.763 anggota). Data di atas menunjukkan bahwa masyarakat Mojokerto merupakan pemeluk agama yang taat.
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif. Dalam pendekatan kualitatif, data-data yang diperlukan bukan berupa angka-angka atau fenomena yang diangkakan, melainkan peristiwa hukum yang dinyatakan secara deskriptif. Peristiwa hukum ini ditemukan di masyarakat (law in action), sehingga penelitian ini termasuk bidang Sosiologi Hukum (social-legal research). Delik pidana agama yang tercantum di pasal 156 dan 156a KUHP serta penyelesaiannya diatur oleh pasal 1-3 PNPS Nomor 1 Tahun 1965 terbuka berbagai penafsiran. Penafsirannya dapat dilihat pada praktek di lapangan. Pemeluk agama membuat konstruksi hukum, tanpa melihat peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan pendekatan kualitatif, konstruksi hukum pemeluk agama ini dapat digali dan diuraikan lebih detail dan utuh. Semua aspek yang terlibat dalam konstruksi hukum juga bisa diungkapkan secara kualitatif.
Konstruksi hukum atas delik agama melibatkan konsep-konsep dan simbol-simbol agama yang diberi makna secara berbeda oleh setiap pemeluk agama. Perbedaan makna ini dipengaruhi oleh interaksi sosial pemeluk agama. Tidak semua umat Islam bersikap ramah dengan umat non-muslim. Penafsiran agama tanpa dasar yang kuat dapat dianggap sebagai penodaan atau dinilai sebagai ekspresi berpendapat. Begitu pula, tidak semua pemuka agama setuju dengan penyelesaian delik agama di luar pengadilan. Semuanya terkait dengan makna simbol yang dihasilkan dari interaksi sosial pemuka agama. Oleh karena itu, jenis penelitian kualitatif yang dipilih untuk penelitian ini adalah interaksionisme simbolik. 
Secara ringkas, interaksionisme simbolik didasarkan premis-premis sebagai berikut. Pertama, individu merespons suatu situasi simbolik. Dalam penyelesaian delik agama, pemuka agama memberikan penilaian delik agama sesuai dengan makna simbol yang dipahami olehnya. Kedua, makna adalah produk interaksi sosial, karena itu, makna tidak melekat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Penilaian delik agama di atas oleh pemuka agama dihubungkan dengan bahasa agama, semacam sesat, haram, dan sebagainya. Tentu saja, pemahaman makna sesat hanya dimiliki oleh penilainya. Ketiga, makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Pernyataan sesat atau bukan dapat berubah jika ada faktor lain yang mempengaruhinya, seperti tidak ada kesengajaan, ketidaktahuan, atau dorongan sosial-politik. Noeng Muhadjir mengajukan tujuh prinsip penggunaan interaksionisme simbolik. Pertama, simbol dan interaksi itu menyatu, tidak cukup hanya merekam fakta, melainkan pula harus mencari konteksnya. Kedua, karena simbol dan interaksi tidak lepas dari pribadi, maka jati diri subyek juga perlu ditangkap. Ketiga, peneliti harus sekaligus mengaitkan antara simbol dan jati diri dengan lingkungan dan hubungan sosialnya. Keempat, merekam situasi yang menggambarkan simbol dan maknanya. Kelima, metode yang digunakan mampu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya. Keenam, metode yang dipakai mampu menangkap makna dibalik interaksi. Ketujuh, sensitizing (yaitu sekedar mengarahkan pemikiran) yang cocok dengan interaksionisme simbolik perlu dirumuskan lebih operasional ketika di lapangan menjadi konsep yang lebih definitif (scientific concepts). 
C. Jenis Data Penelitian
Ada dua data yang digali dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang digali dari sumber data secara langsung. Dengan mengikuti pola sistematik hukum, data-data primer yang digali di lapangan menggunakan lima domain, yaitu masyarakat, subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan obyek hukum.  
Sebaliknya, data sekunder merupakan data yang digali dari sumbernya secara tidak langsung, melainkan dari sumber lain yang terkait. Data-data sekunder tersebut terbagi dalam tiga macam, yaitu bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer itu adalah.
1. Pancasila, Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Undang-Undang Dasar 1945, pembukaan, pasal 29
3. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 156 dan 156a (delik terhadap agama), pasal 175-181, dan pasal 503 buku II KUHP (delik yang berhubungan dengan agama).
4. Undang-undang Nomor 16 tahun 2001 tentang Yayasan
5. Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan Penjelasannya
6. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1979 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri Kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia
7. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 / Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
8. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 84 Tahun 1996 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan Kerawanan Kerukunan Hidup Umat Beragama
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum primer penelitian ini adalah
1. Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis
2. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia
3. Oemar Seno Adji, hukum Acara Pidana dalam Prospeksi
4. P. Panggabean, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan
5. Oemar Seno Adji, Herziening-Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik
6. A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara
7. Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana
 Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, semacam AD/ART MUI Mojokerto, hasil keputusan Fatwa MUI Mojokerto, AD/ART Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Mojokerto, dan sebagainya. Untuk eksplorasi data-data primer maupun sekunder, tehnik taksonomik dalam tabel berikut ini dapat membantunya.
DELIK
AGAMA BENTUK
DELIK DELIK
TERHADAP
AGAMA MASYARAKAT HUKUM
  SUBYEK HUKUM
  HAK DAN KEWAJIBAN
  HUBUNGAN HUKUM
  OBYEK HUKUM
  DELIK YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN
AGAMA MASYARAKAT HUKUM
  SUBYEK HUKUM
  HAK DAN KEWAJIBAN
  HUBUNGAN HUKUM
  OBYEK HUKUM
 PENYELESAIAN
DELIK DELIK 
TERHADAP
AGAMA SITUASI SOSIAL
  SUMBER MASALAH
  DAMPAK SOSIAL
  INTERAKSI SOSIAL
  BAHASA AGAMA
  DELIK YANG
BERHUBUNGAN
DENGAN
AGAMA SITUASI SOSIAL
  SUMBER MASALAH
  DAMPAK SOSIAL
  INTERAKSI SOSIAL
  BAHASA AGAMA

Tabel Taksonomik Data Penelitian

D. Sumber Data
Data-data di atas dapat diperoleh dari para informan, dokumentasi, dan literatur. Para informan dalam penelitian ini dapat dipilah menjadi dua, yaitu informan pemuka agama dan informan pemeluk agama. Informan kunci (key informan) yang menunjukkan beberapa kasus adanya delik agama di Kabupaten Mojokerto adalah KH. Dimyathi Rasyid. Selain sebagai Ketua Umum MUI Kabupaten Mojokerto, ia juga mantan Ketuan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Dengan jabatannya ini, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya tersebut mengetahui lebih banyak mengenai persoalan delik agama.
Dokumentasi data-data diperoleh dari Kantor Departemen Agama Kabupaten Mojokerto, Kantor Pengadilan Negeri Mojokerto, MUI, dan lembaga keagamaan lainnya. Sedangkan literatur diperoleh dari buku-buku dan internet. 
E. Tehnik Pengumpulan Data
Dalam menggali data-data di atas dari sumbernya digunakan tiga tehnik pengumpulan data, yaitu wawancara bebas terstruktur, observasi non-partisipan, dokumentasi, dan kepustakaan. Wawancara dipakai untuk menggali data-data primer, terutama mengeksplorasi peristiwa hukum yang telah terjadi. Data-data yang digali dengan wawancara umumnya berbentuk nomena, yakni fakta dalam dibalik suatu peristiwa. Wawancara tidak hanya ditujukan kepada para pemuka agama, melainkan pula para pemeluk agama, bahkan subyek hukum yang melakukan delik agama. 
Observasi dimanfaatkan untuk melihat situasi subyek hukum, bukan obyek hukum, mengingat peristiwa hukum telah terjadi masa lalu. Dalam melihat subyek hukum, hal-hal yang diperhatikan adalah ekspresi wajah, keadaan keluarga, kantor lembaga keagamaan, serta tempat terjadinya peristiwa hukum. Fakta luar (fenomena) hanya diperoleh dengan observasi dengan interpretasi dari pengamat (observator).  
Tehnik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data-data primer maupun sekunder, antara lain: AD/ART MUI, dokumentasi keagamaan di Kantor Departemen Agama Mojokerto, dokumentasi salinan keputusan mengenai delik agama di Pengadilan Mojokerto. Sementara itu, tehnik kepustakaan digunakan untuk menemukan teori-teori, pendapat para pakar hukum, dan hasil penelitian terdahulu mengenai delik agama. 
F. Tehnik Analisa Data
Dalam penelitian kualititaif, dikenal tiga tehnik analisa data, yaitu reduct data, display data, dan conclusion drawing. Reduct data adalah proses penyeleksian, penyederhanaan, pengabstraksian, dan pengkonfirmasian data. Ia dilakukan dengan melakukan abstraksi, yaitu usaha membuat rangkuman inti, proses, dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga, sehingga tetap berada di dalamnya. suatu cara membuat konsep data dan menggalinya di lapangan. Dalam merencanakan data-data yang akan digali di lapangan, digunakan tehnik taksonomik. Taksonomik adalah upaya memecah konsep-konsep dalam permasalahan yang dibahas menjadi data-data paling kecil dan lebih konkrit. Display data adalah cara menguraikan dan menampilkan data-data secara sistematis dan apa adanya. Conclusion drawing adalah menarik suatu kesimpulan yang representatif dan inhern dengan masalah yang telah dirumuskan.